ESAI
AIR*
oleh Zaka Vikryan
...
Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. ...
(Qs
Al Anbiya ayat 30)
Seperti telah kita ketahui bahwa dua per-tiga kawasan
bumi ini adalah air. Tuhan memang sudah memperhitungkan dengan matang bahwa air
akan menjadi salah satu unsur terpenting bagi kehidupan di bumi. Bisa kita
bayangkan, apa jadinya kehidupan ini jika ketersediaan air tidak mencukupi;
bukan hanya dari kuantitasnya saja, melainkan kelayakan untuk digunakan oleh
semua makhluk dalam pelbagai kepentingan. Kiranya kekeringan yang menjadi ujung
pangkal kematian adalah sesuatu yang sifatnya niscaya di hadapan mata bukan?
Sejenak, mari kita ingat kembali kisah tentang air yang
melekat pada sosok Varuna yang begitu memesona. Varuna dikisahkan sebagai dewa penguasa
air dan pengendali hukum reta; hukum
yang membuat alam semesta berjalan secara tertib. Ia termasuk dewa terkuat pada
zaman Hindu awal. Kewibawaannya semakin bertambah manakala ia mengenakan zirah
emas dan menunggangi Makara; raksasa laut; campuran kambing dan buaya. Selain
itu, Varuna memastikan bahwa hukum selalu tetap, bukan hanya hukum alam
melainkan juga hukum dan sumpah manusia. Melalui bintang-bintang sebagai indra
penglihatannya, Varuna digambarkan sebagai sosok maha tahu tentang kejadian di
bumi dan dipikiran manusia.
Bukan hanya melekat pada sosok Dewa Varuna, air di dalam
pandangan masyarakat Kuningan pun memiliki posisi penting. Sebagai pemenang
sayembara biologis yang lahir dan menjalani hidup di Kuningan, saya merasa
bangga karena merupakan bagian dari pewaris sah kebudayaan Sunda. Kata “Sunda”
sendiri dalam bahasa Kawi memiliki arti “air; daerah yang banyak air”. Saya pun
merasa semakin utuh kala mengingat posisi air yang direkatkan secara spatial
pada penamaan-penamaan tempat atau apa pun lainnya di Kuningan; Cigugur,
Citangtu, Ciremai, dan lain-lain. Dalam bahasa Sunda, kata ci bersinonim dengan kata cai
yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka artinya air. Setidaknya dari sana saya dapat
menarik sebuah anggapan bahwa air merupakan unsur penting yang selalu
mendampingi kehidupan manusia, khususnya masyarakat Sunda di Kuningan.
Di samping itu, kita tentu pernah mendengar beberapa
pepatah klasik Sunda, diantaranya ialah cikaracak
ninggang batu laun-laun jadi legok yang artinya ialah bahwa betapa pun
sukarnya suatu perkara jika dilakukan secara rutin dan semangat yang tinggi
maka akan berhasil juga, ka cai jadi
saleuwi ka darat jadi salogak yang artinya hidup rukun; tidak bermusuhan
dengan siapa pun, dan herang caina
beunang laukna yang artinya meraih sesuatu dengan jalan yang baik;
musyawarah, tidak merugikan orang lain. Dari tiga pepatah tersebut kita dapat
merasakan bahwa “air” bagi orang Sunda merupakan sesuatu yang akrab, artinya
bukan hanya digunakan sebagai alat untuk mencapai kebutuhan tertentu saja melainkan
diposisikan pula sebagai pandangan hidup yang dibungkus dalam bahasa estetis.
Kuningan
yang dikenal sebagai daerah agraris sudah pasti kaya akan sumber daya air.
Masyarakat Kuningan tidak akan terlalu kesusahan mencari air saat musim kemarau
tiba. Tumbuh suburnya tanaman di Kuningan merupakan salah satu indikasi bahwa
Kuningan adalah daerah yang tidak akan dilanda kekeringan. Menurut www.kuningankab.go.id
terdapat 104 waduk atau situ dan 523 mata
air yang terdapat di Kuningan; sumber data dari Dinas Sumber Daya Air dan
Pertambangan Kabupaten Kuningan pada tahun 2013.
Keberadaan
air yang terjaga tentu tidak lepas dari peranan tumbuhan atau hutan yang
terjaga pula. Hal tersebut dikarenakan salah satu fungsi hutan ialah menyimpan,
mengatur, dan menjaga persediaan dan keseimbangan air di musim hujan dan musim
kemarau. Maka, andaikata hutan Kuningan sudah mulai diabaikan tentu persediaan
dan keseimbangan air baik di musim hujan atau pun kemarau tinggallah dongeng
belaka. Bukan hanya itu, seandainya air sudah terkontaminasi oleh limbah maka
meskipun hutan masih tegak berdiri lambat laun akan tumbang juga karena
menyerap air yang beracun. Jika hutan sudah mati dan air terkontaminasi maka
dapat dipastikan Kuningan akan bermetamorfosa menjadi kota yang tidak lagi
berpenghuni.
Allah
swt telah mengimbau manusia dalam Qs Al Anbiya ayat 107, tidakkah Kami mengutusmu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian
alam. Dari ayat itu kita bisa merasakan bahwa Allah sudah memperingatkan
kita untuk menjaga alam sebagai salah satu bentuk wujud keimanan kita terhadap
Allah swt. Hal demikian tampak sejalan dengan falsafah orang Sunda yang
dianjurkan agar orang Sunda menjadi siger
tengah artinya tidak berlebih-lebihan terhadap apa pun; termasuk
pemanfaatan alam; air adalah salah satu unsur alam.
Kabeureuyan mah tara ku tulang munding, tapi ku cucuk peda, artinya sesuatu yang mencelakakan
itu biasanya adalah hal-hal yang dianggap sepele.
Pepatah tersebut terasa sejalan bak gayung bersambut dengan firman Allah dalam
Qs Al Araf ayat 56, dan janganlah kamu
membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah
kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan
dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang
berbuat baik. Maksudnya, kita manusia sering kali menyepelekan hal-hal
kecil ketika sedang melakukan kontak dengan alam; wisata alam misalnya. Tidak
jarang kita membuang sampah disembarang tempat atau membuangnya ke hanyutan
air. Dampak atas perbuatan seperti itu tidak akan terasa langsung oleh kita
hanya jika hal demikian dilakukan secara rutin nan rajin maka bukan sesuatu
yang tidak mungkin kebersihan air akan terkontaminasi.
Adalah
sunatullah bahwa manusia itu tumbuh, berkembang biak, dan mati. Jika ada yang
mati maka ada yang hidup, begitulah hukumnya. Manusia yang melangsungkan
pernikahan, sebagai wujud ibadah kepada Allah swt dan mengikuti sunah rasul
tentu akan menghasilkan generasi baru. Itulah sebabnya kehidupan manusia tidak
akan pernah ada habisnya – sampai Allah memutus rantai kehidupan duniawi dengan
terompet Israfil; tidak ada yang tahu kapan. Maka dapat dirumuskan kiranya
bahwa menjaga keberlangsungan air adalah sesuatu yang sifatnya wajib demi anak
cucu dan generasi-generasi setelah kita. Karena dengan begitu kehidupan mereka
setidaknya akan terjamin dan mereka dapat kembali mengolah alam demi hajat
hidup dirinya serta orang banyak dengan tanpa merusak keseimbangan alam.
Menciptakan
keseimbangan alam dan memenuhi kebutuhan hidup manusia merupakan dua hal yang
bisa dilakukan secara bersamaan, yakni dengan cara tidak berlebih-lebihan.
Allah azza wa jalla lagi-lagi mengingatkan umat manusia dalam surat Al Araaf
ayat 31, .... Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan. Oleh sebab itu, dalam pemanfaatan apa
pun termasuk air janganlah dilakukan secara berlebih-lebihan meskipun dengan dalih
untuk hajat hidup orang banyak.
Mengingat Kuningan yang
kaya akan sumber air maka bukan tidak mungkin kelak Kuningan akan menjadi poros
air di wilayah Jawa Barat. Untuk mewujudkan hal tersebut tumbuhan dan hutan
harus dijaga dan dikawal keberadaannya oleh semua pihak. Jangan sampai hutan
atau tempat-tempat hijau lainnya dikepung oleh asap kebakaran dan eksploitasi. Jangan
sampai masyarakat Kuningan seperti bebek nyogor di sagara, rek nginum neangan cai – semunya tersedia tapi tidak bisa dipakai karena
bukan haknya – di tanahnya sendiri.
Semuanya (khususnya masyarakat
Kuningan; rakyat sipil dan pemerintah daerah) harus bekerja sama untuk menjaga
Kuningan agar tetap “berair” untuk keberlangsungan hidup yang lebih baik.
Pesona Kuningan bukan hanya terletak pada pagelaran kegiatan-kegiatan
kebudayaan atau hal sejenis lainnya, bukan pula pada pemakaian simbol-simbol
kebudayaan; pin kujang, iket, sinjang, pangsi, dan lainnya, dan bukan juga
terletak pada musik dangdut. Pesona Kuningan sejatinya terletak pada pola kehidupan
yang sesuai dengan falsafah hidup para karuhun dan rambu-rambu Tuhan Yang Maha
Esa.
Walagri
Kuningan Asri/ Waluya rahayu nagri/ Sarakan tempat bumetah/ Aman sehat rindang
indah/ .... Kita tentu sudah tidak asing lagi dengan
tembang tanah Kuningan itu. Tembang bukan sekedar tembang, tembang adalah
gambaran kehidupan. Memelihara keseimbangan alam dan kesejahteraan hidup
manusia Kuningan adalah suatu kewajiban. Hormat terhadap nilai-nilai kehidupan bukanlah
omong kosong belaka, melainkan bentuk syukur dan pengabdian kita kepada
penguasa alam raya dan sebagai usaha kita kepada generasi penerus untuk mewariskan
mata air bukan air mata.
*Naskah esai ini disayembarakan dan memenangkan Lomba Penulis Muda Kuningan 2015 yang diselenggarkan oleh DPD knpi Kuningan.
bagus sekali, selamat yaa atas kemenangannya :)
ReplyDeleteOk, makasi ucapannya Rizky Kurniawati.
ReplyDeletebagus banget. selamat ya..
ReplyDeleteOk, makasih ucapannya Laela Laelatul Sani.
Delete