Cerbung
SIAPA YANG PERGI
oleh Zaka Vikryan
“Siang
nanti harus kusegerakan raga ini menemuinya. Jangan sampai dia tahu bahwa aku
sebenarnya akan pergi meninggalkan dirinya. Andaikata dia tahu, maka dapat
kupastikan bahwa dia tidak akan sanggup menanggung perasaannya sendiri. Iya. Ini
tidak bisa dibiarkan. Aku harus segera menemuinya.”
Dedaunan menelisik
lirih membisiki kedua kuping ini secara ritmis. Sementara secangkir kopi hitam
masih erat kugenggam dalam bungkus gelas putih berlukis kembang sepatu. Kedua
parkitku pun masih bersedia bercicit bergantian. Pagi ini rasanya semakin
sempurna saja dengan simponi Sirenia – Seven
Sirens and A Silver Tear.
Aku pernah berpikir
tentang dirinya, tapi hal itu benar-benar sukar kutuntaskan. Terkadang, bahkan
boleh jadi katakanlah – sering, memikirkannya tanpa tidak sampai tuntas. Aku
kesusahan, dan merasakan bahwa setiap kali aku memikirkanya aku tahu bahwa dia
tidaklah sesederhana yang ada di dalam pikiranku.
Setelah cangkir
bermotif kembang sepatu kosong, aku segera menutup buku-buku yang semalaman
entah kubaca atau hanya kutiduri saja. Menemuinya kini, aku akan memakai kemeja
hitam berlengan panjang dan celana berbahan katun yang mempunyai dua titik
bolongan di sebelah kiri; bekas terkena rokok – entah kapan. Sengaja kupakai
celana yang kurang meyakinkan ini, musim hujan membuatku harus memakan waktu
lama untuk menunggu pakaian kering dan siap disetrika.
Dalam perjalanan ke
rumahnya aku bertemu dengan macet yang cukup panjang. Terpaksa aku turun di
tengah keramaian. Sembari kusulut dan kuhabiskan beberapa batang rokok di
pinggiran trotoar, ku perhatikan bus yang baru saja kutinggalkan nyaris tidak
bergerak selama satu jam. Rokok sudah habis, warung jaraknya sekitar 500 meter
sebelah utara – berlawanan arah dengan tujuanku sebenarnya. Situasi ini
membuatku kesal bukan kepalang. Akhirnya kutemui kondektur bus yang tadi aku
tumpangin. Aku bayar setengah perjalananku.
Kuputuskan untuk
berjalan kaki. Terpaksa 500 meter itu kutempuh dengan cara tradisional; jalan
kaki. Siang hari nampaknya akan segera permisi angkat kaki. Tandanglah senja.
Tandanglah awan jingga. Tandanglah langit merah saga.
Sesampainya di warung,
ketika aku hendak mengganti uangku dengan sebungkus rokok yang terpajang di
balik etalase tenyata aku baru sadar bahwa buku sakuku tertinggal di rumah, di
samping kanvas yang belum rampung. “Sialan...!!!”, gerutuku dalam hati.
Untungnya perjalanan
menuju rumahku lancar. Berbanding terbalik tentunya dengan arah tujuanku tadi.
Tidak sampai lima belas menit aku telah bertatap muka dengan buku sakuku, dan
dugaanku salah, buku sakuku ini ternyata menggeletak di kolom kedua etalase
puisiku.
Etalase puisi.
Terdengar aneh mungkin. Tapi inilah salah satu ornamen kecil di ruang tidurku.
Empat puluh lima derajat dari pintu ke sebelah kiri terdapat dua etalase yang
kubuat sendiri dari kayu mahoni, yang berwana putih ialah etalase sketsa rupa,
yang berwarna hitam adalah etalase puisi yang kutulis sendiri dengan pena.
Dengan bentuk yang tidak terlahang oleh dinding sekat, bagaimana pun posisi
diamku di ruangan ini aku bisa bebas kapan saja menikmati dan membaca ulang apa
yang telah kubuat.
Akhirnya buku sakuku
kini aman, telah kumasukan ia di tempat paling dalam dari tas gendong bermotif
macan yang berbahan kulit buaya. Kulanjutkan niatanku untuk menemuinya. “Bisa
sampai pagi buta ini! Bangsat!”
Senja kini telah genap
ditelan gelap. Karena aku enggan dan pantang untuk tidak menepati ucapanku
sendiri, maka setengah kupaksakan hati ini untuk menggerakan kaki ke depan
pintu rumah. Penghianatan terbesar ialah ketika aku dusta pada diriku sendiri.
Kuputar sepeda hitam, khawatir barangkali macet masih setia di luar sana.
Jalan kecil. Gang-gang
pedesaan. Gapura-gapura dusun – selesai jua kulewati satu persatu. Tinggal
jalan besar di depanku saja harus kusebrangi untuk menuju titik akhir dari
pejalan panjangku sedari tadi.
Kulihat seorang wanita
renta tepat di sampingku, atributnya sungguh lengkap dan menegaskan bahwa dia
adalah seorang lansia penjual jamu gendong. Rautnya mengisyaratkan bahwa di
rumahnya ada putera-puteri yang selalu setia menanti kepulangannya.
Kuhampiri dia. Sembari
kupapah sepedaku kupapah pula dia. Maksud hati hendak menolong apa pula yang
kuterima. Wanita renta itu menghardikku. “Kurang ajar! Apa maumu anak muda!”
Kupasang perangai bersahabat dengan senyum yang kemudia kususulkan padanya,
“Mbo, aku hanya ingin mengantarmu menyebrang jalan.” Wanita renta itu terdiam
sesaat. “Nak, jangan kamu pikir aku berdiri di pinggir jalan ini lantaran aku
ingin pergi ke sebrang sana.”
Kupapah sepedaku
menjauhi dirinya. Belum jauh roda-roda sepedaku bergulir, tiba-tiba, “Nak...!
Nakk...! Kemari sebentar.” Wanita renta itu memanggilku. “Ada apa Mbo?” Wanita
renta itu mengajakku duduk di emperan.
“Nak, kamu tahu mengapa
aku tadi aku menghardikmu? Sebenarnya aku tahu bahwa maksudmu menghampiriku
tidaklah lain untuk menolongku, tapi kamu tahu nak, bahwa sebenarnya di zaman
yang sudah edan ini kita haruslah memelihara yang namanya kewaspadaan.”
Kuanggukan kepala seraya berkata, “Tidak mengapa Mbo, aku mengerti. Kalau
begitu aku permisi sekarang, karena aku masih ada yang harus aku selesaikan.”
Setelah jalan tuntas
kusebrangi, tibalah aku di sebuah gapura besar bertuliskan aksara Sunda Kuno,
yang dalam bahasa Indonesia ialah Jagat Alit. Garupa ini nampak lengkap dengan
apitan dua patung manusia telanjang.
Kutemui Bapak Turah
selaku juru kunci di Petilasan Eyang Jagat Alit ini. Rupanya beliau menyambutku
dengan muka kusut. Aku tahu bahwa dia mungkin letih dengan pekerjaannya seharian
ini. Kukeluarkan roti dan sebungkus kretek yang tadi sempat kubeli dahulu di
seberang jalan lengkap dengan sebotol air mineral. Melihatnya memakan roti
begitu lahap aku tidak kuasa untuk menelan ludah dalam-dalam. “Kasihan...”,
ucapku dalam hati.
“Bah...”, panggilanku
pada Pak Turah. “Iya nak. Nak Andika mengapa malam-malam datang kemari? Apa untuk
berziarah? Bukannya Nak Andika biasanya datang kemari setiap malam rabu? Kalau
Abah tidak salah, ini kan baru malam sabtu.” Gontai, kubuka resleting tas
gendongku. “Iya Bah, saya kemari sekarang hendak berpamitan kepada Abah, karena
besok saya akan pergi dari kota ini.”
Mata abah terbelalak,
tenggorokannya tersedak air minum ketika aku mengutarakan maksud kedatanganku
padanya. “Na....k An..di..ka ini mau ke mana memangnya?” malam yang semakin dan
bertambah sempurna dengan desir angin yang santai menyapa barisan kumis kucing
menjadi fokus lanscape retina ketika
aku bicara.
“Sudahlah Bah, Abah
tidak perlu khawatir seperti itu dan saya mohon maaf karena tujuan saya hendak
ke mana tidak bisa saya ceritakan kepada Abah. Saya datang kemari hanya untuk
menitipkan ini Bah.”, kukeluarkan buku sakuku. “Ini adalah buku saku saya Bah,
sengaja saya persiapan ketika saya datang ke kota ini delapan bulan yang lalu. Semua
hal yang saya alami selama di kota ini bisa saya katakan tercatat rapi dan utuh
di buku ini. Semoga buku ini akan membantu abah kalau-kalau kita tidak berjumpa
di hari esok.”
Kulihat dia tersenyum
kecil. Tidak lama kemudian Bah Turah kembali menyulup kretek keduanya. Kali ini
dia menarawiku. “Ayo, itung-itung ini Nak Andika menemani Abah merokok sebelum
kita berpisah.” Aku yang tidak suka kretek pun akhirnya dengan berat hati turut
serta menyulut kretek yang diberikannya itu.
Hisapan dan kepulan
asap yang kami hasilkan di tengah malam rasanya penuh sesak menjejali setiap
sudut Petilasan Eyang Jagat Alit. Sembari terus menikmati setiap hisapan
kreteknya dia berbicara padaku.
“Nak, Abah mau cerita
sebelum kita berpisah. Tugas Nak Andika, hanya mengdengarkan dan mengambil
sesuatu dari apa yang akan abah ceritakan. Bagaimana, bersedia
mengedengarkannya? Kuanggukan kepala sebagai tanda bahwa aku menyepakati
ucapannya.
“Begini, dahulu kala,
hidup seorang pengembara. Dia tidaklah pernah diam lama di satu tempat. Alam menuntunnya
untuk berkelana mengunjungi wajah dunia. Dia hidup seorang diri, maka dari itu
dia tidaklah mempunyai beban yang berarti dalam perjalannya. Kalau kesulitan
dan tantangan yang dia hadapi selama perjalanan sudah lain soal. Dia berasal
dari desa kecil di barat sana. Tanpa bekal uang dan pakaian yang memadai dia
bertekad bulat untuk melakukan perjalanan. Sampai akhirnya dia tiba di suatu
tempat, Larung Biru. Sebuah tempat yang asri serta berpenduduk ramah. Setelah tiga
bulan dia berdiam di sana. Akhirnya dia tidak bisa mengelak lagi bahwa ada
seorang gadis yang dia senangi di Larung Biru; Lestari. Menikahlah dia dengan Lestari,
hidupnya terbilang mujur karena setelah dia menikahi pujaan hatinya rahmat
Tuhan tidak henti-hentinya menyapa keluarga kecilnya itu. Hidup sebagai petani,
berpenghasilan cukup, tidak membuat Larung Biru berkecil hati. Akan tetapi
tibalah suatu hari di mana keadaan berubah drastis,....”
Belum tuntas Bah Turah
bercerita, tubuhnya kejang, matanya terpejam rapat seolah menahan rasa sakit
yang teramat sangat. Tangan kirinya masih mengapit kretek yang masih utuh
setengah tubuh.
“Bah...? Abah...?
Bah...!”, teriakku memanggil Bah Turah. “Bah... Abah Turah?!!!” Kugoyangkan
tubuhnya, “Bah..! Abaaahhh...!”. Denyut nadi telah meninggalkan tangannya.
“Innalillah... Abah..
Abah Turah... Aaaaa...!”
.....................*
*bersambung
0 Response to "Cerbung"
Post a Comment