TABIR HIJAB DI DALAM MASJID

oleh Zaka Vikryan

Hijab (bahasa Arab: بحجا ħijāb) adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti penghalang. Pada beberapa negara berbahasa Arab serta negara-negara Barat, kata "hijab" lebih sering merujuk kepada kerudung yang digunakan oleh perempuan muslim (lihat jilbab). Namun dalam keilmuan Islam, hijab lebih tepat merujuk kepada tata cara berpakaian yang pantas sesuai dengan tuntunan agama. (http://id.wikipedia.org/wiki/Hijab)
Di sisi lain, Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinikan bahwa hijab itu adalah dinding yang membatasi sesuatu dengan yang lain; dinding yang membatasi hati manusia dengan Allah. Jika dilihat dari definisi yang diutarakan oleh KBBI ini, sekilas kita akan mendapatkan kesan bahwa Allah merupakan sesuatu yang sifatnya ekslusif.
Sungguh, hal ini sangatlah kontradiktif dengan apa yang dikemukakan oleh Ahmad bun Hambal. Beliau menyatakan bahwa “Hati orang yang beriman berada diantara kedua jari-jari Tuhan Yang Maha Pengasih.”
            Berkenaan dengan perihal hijab ini salah satunya ialah penggunaan tabir hijab di dalam masjib. Dinding pemisah antara kaum lelaki dan perempuan sering kali kita temukan sebagai salah satu dekorasi interior masjid. Penggunaannya (tabir hijab), tidaklah salah dan juga tidaklah benar. Manusia yang mengatakan atau beranggapan bahwa penggunaan tabir ini merupaka suatu kewajiban biasanya menjadikan QS. Al-Azab ayat 53 sebagai legitimasi retoriknya.
Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. (QS. Al-Ahzab: 32) Masih dalam surat yang sama, yakni Alh-Ahzab: 32, ayat ini dijadikan oleh manusia muslim yang hanya memandang bahwa penggunaan tabir hijab di dalam masjib tidaklah wajib; sunah. Karena yang dimaksudkan ayat ini tidaklah bukan hanya untuk isteri Nabi yang merupakan wanita dengan derajat yang tinggi, dan tentu ayat ini tidak dapat diterapkan untuk wanita-wanita lainnya.
Sementara itu, Al-Ghazali mengatakana bahwa, “Bukalah hatimu lebar-lebar, sungguh Rahmat (kasih-sayang) Tuhan Maha Luas. Janganlah kamu ukur yang bersifat ke-Tuhan-an dengan ukuran-ukuran yang sempit dan formalistik.
Dari pernyataan Al-Ghazali tersebut, dapat diambil hikmah bahwa ukuran-ukuran sempit dan formalistik yang dimaksudnya adalah cara pemahaman teks-teks keagamaan secara tunggal, literal , dan konservatif. Pandangan ini menuntut kita menghargai setiap pikiran siapa pun, karena masing-masing memiliki kebenarannya sendiri sesuai dengan pengalamannya. Formalisme dalam banyak pengalaman hidup masyarakat beragama acap kali mengungguli akal sehat, solidaritas sosial dan toleransi, penghargaan terhadap “yang lain”. Ini bertentangan dengan gagasan-gasan kaum esensialis.
Maka, dalam menyikapi tabir hijab di dalam masjib, perspektif inilah yang mungkin dapat dijadikan salah satu sandaran dasar pemikiran karena sifatnya yang dapat dikatakan inklusif. Berbeda dengan perspektif fiqih yang cenderung mengungkung pemikiran dan sifatnya yang ekslusif. 
Ibn Rusyd misalnya, beliau melihat bahwa dalam waktu yang cukup lama, kajian fiqig statis, mandek, tidak berkembang, dan konservatif. Kitab-kitab yang ditulis para ahli fiqih berisi ulangan saja dari karya-karya para sarjana fiqih sebelumnya. Pengulangan adakalanya dalam bentuk ulasan, catatan pinggir, ringkasan atau dalam bentuk syair.
Ibn Rusyd yang terlihat seolah ingin menggugat kemapanan fiqih tradisionalis ini bukan berarti iala merupakan seseorang yang “anti-teks”, namun seharusnya para ahli fiqih tidak selalu bertaklid kepada orang lain dan tidak hanya sibuk menghafal produk-produk fiqih mereka. Orang-orang yang hafal produk-produk hukum para mujtahid, betapa pun banyaknya, tidak bisa disebut “faqih”. Seseorang baru bisa dikatakan “faqih” jika mampu menganalisis teks-teks hukum secara mendalam, melalui argumen-argumen yang dapat diterima akal pikiran dan mengembangkan dasar-dasarnya.
Jadi, kembali lagi pada bahasan fiqih tentang hukum tabir hijab di masjid, saya sendiri lebih bersepakat untuk tidak menyepakati hukum wajib atau pun sunnah. Posisi manusia di dalam masjid dan di mata Allah adalah sama. Ada pun fungsi dari penggunaan tabir hijab di dalam masjid sendiri ialah untuk menjada nafsu diantara muslimin yang berbeda jenis kelamin itu urusan lain, karena Allah sifatnya pemurah dan kita harus mengenal Allah dan selalu berdekatan dengan-Nya maka kiranya tak perulah hijab-hijab panjang itu dijadikan salah satu ornamen masjid.

Setelah pembicaraan yang mungkin masih dapat dikatakan dangkal ini, ada satu pertanyaan akhirnya timbul secara naluriah; “Apakah nikmat bercinta dengan pakaian lengkap?” Masihkah kita percaya bahwa bercinta bersentuhan kulit itu ialah sebuah kenikmatan yang tiada tara?” Wallahi...

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "TABIR HIJAB DI DALAM MASJID"

Post a Comment