CERPEN: DIALOG
Allahu
akbar, allahu akbar, allahu akbar, la ila ha illaloh, hu allah hu akbar, wa
lilla ilham...
Rasanya baru kemarin
aku mendengarkan takbir yang menggema di setiap langgar dan masjid. Kini,
sebentar lagi, takbir yang terasa menggetarkan hati beberapa kali lipat itu
akan aku dengar kembali; semoga. Setiap takbir sebenarnya sama saja, hanya
takbir pada hari besar ini entah mengapa pasti akan memberikan dampak yang
berbeda dan lebih dahsyat dihati. Hal itu dikarenakan aku hanya bisa merasakan serta
sadar bahwa aku adalah makhluk kecil tak berdaya di saat hari-hari besar saja.
Atau mungkin, aku belum pandai saja memaknai agama dan seperangkat ritualnya,
makanya aku masih merasa hati ini tidak mampu meresapi semua takbir yang
terdengar; tak terkecuali takbir adzan yang rasanya sudah bosan terdengar
setiap hari.
Pohon pinus yang tegak
berdiri dan hendak menyentuh langit; walau tak sampai bak pungguk merindukan
bulan, masih setia dan tidak berusik dihadapanku. Mereka setia menemani
sore-soreku yang kuhabiskan hanya untuk duduk dan berdiam diri, menghadap ke selatan
dan merenungkan segala hal yang menimpaku. Mereka adalah teman yang baik,
mereka adalah sahabat yang akrab, mereka adalah lawan bicara yang istimewa.
Mereka adalah pohon pinus yang tegak berdiri dan hendak menyentuh langit; walau
tak sampai bak pungguk merindukan bulan.
Besok, kegiatanku
seperti biasa, belajar dengan teman-teman di kelas, membaca buku
diperpustakaan, dan malamnya aku membaca buku lagi di kamar. Namun soreku nampaknya
besok akan terganggu oleh ceramah yang diadakan di masjid pondok. Ceramah akan
dibawakan oleh ustadz muda yang baru saja bergabung di pondok ini. Ceramah
besok sore diberitahukan langsung oleh pimpinan pondok. Pak Kiai bilang kegiatan
itu dilakukan sebagai pembekalan umum bagi kita semua untuk menghadapi kegiatan
saum minggu ini sampai sebulan ke
depan.
Jujur saja, kadang aku
malas dengan kegiatan-kegitan seperti itu. Bisa kutebak, paling sang pembicara nanti
akan membawakan ceramah itu lengakap dengan kutipan madaniyyah-nya; Al-Baqarah 183-185; kutipan – esensi tanpa
eksistensi adalah kekosongan. Dan di dalam masjid tidak semuanya fokus
mendengar ceramah, ada yang ketiduran, ada yang mengobrol, dan ada lagi hal lain
yang akan terjadi dan bukan seharusnya terjadi. Menurutku, ketimbang kita melakukan
tindakan-tindakan yang kurang baik itu, alangkah akan lebih bermanfaat jika
untuk menghadapi ramadan ini cukup dengan membaca, memahami, dan memaknai
aturan-aturannya, dan itu semua tidak perlu dilakukan secara masal seperti
besok sore.
Tindakan masal mungkin
efektif untuk syiar ketika agama ini mulai trend
dan merangkak di muka bumi. Kalau sekarang, hal itu sudah tidak berlaku. Setiap
orang bebas memeluk agamanya, dan bisa mempelajari agama yang mereka yakini
masing-masing, tentu dengan cara mereka masing-masing pula. Apakah dalam
beragama pun kita harus seragam dalam pemahaman dan pelaksanaan syariatnya? Ini
bukan upacara bendera hari senin! Toh ketika berjamaah di dalam masjid pun
mukena yang aku dan perempuan-perempuan lain kenakan berebeda bahan dan
motifnya. Maka, sama saja seperti agama dan proses penghayatannya, kesemuanya itu
mungkin bisa dilakukan secara serentak tapi untuk seragam belum tentu. Itu
tidak bisa. Aku menolaknya dengan keras!
Langit hitam yang kini
bertugas menemaniku, lambat laun hadir, menunjukan ke-aku-annya. Hamparan tak
berbintang nun jauh di sana terlihat memaksaku untuk menulis sebuah puisi. Namun,
jangankan sebait, satu baris pun rasanya sulit aku ungkapkan dengan kata-kata. Aku
berpikir mengenai siang dan malam, namun tak semuanya aku tumpahkan dengan
kata-kata. Memikirkan mereka tak semudah ceramah tentang puasa.
Daun-daun jati tua di
bukit seberang melambai-lambai, mereka menari menemani awalan malamku dengan
gembira. Daun-daun itu seolah menertawakan semua kegelisahan dan
ketidak-sukaanku terhadap ceramah besok sore. Tidak tertinggal jangkring-jangrik
di balik semak bersuara bising, mengintaiku, seakan siap untuk menghujam dan
menusukku dari belakang.
Di samping, secangkir
teh manis panas dan buku saku bermotif bunga matahai lengkap dengan pulpen
hitamnya, utuh tak kusentuh. Aku masih ingin menghadapkan muka ini pada lambaian
jati, suara jangkrik, dan selendang hitam yang mengangkang di atas sana.
Malam mulai
menjadi-jadi. Angin timur kencang berkelebat rincik menampar segala yang
menghadangnya, tidak terkecuali tubuh kecilku ini. Alam seketika terasa marah
padaku. Mereka seperti akan menggerusku akibat umpat dan dugaan-dugaanku. Biar hujan
cercaan atau terik prasangka hinggap padaku, takkan pula aku hendak beranjak
dari loteng kamarku ini. Biarlah semua orang khusu dengan tadarusnya, namun beda, aku hanya ingin berkeluh kesah di sini,
sampai hatiku puas dan minimal sampai aku mengantuk, agar segala macam umpatan
tidak terdengar oleh manusia-manusia berjanggut panjang dan berdahi hitam, atau
manusia berkerudung panjang menyapu jalan-jalan itu.
Aku sadar, bahwa apa
yang aku perbuat ini melanggar aturan pondok, dan mungkin juga merupakan sebuah
dosa yang cukup berat karena menggunjingkan orang. Tapi aku kira tidak mengapa,
akulah manusia kecil yang tak berdaya menahan amarah. Alam menjadi buku
harianku. Alam menjadi teman ceritaku. Alam menjadi mangkuk segala
umpatan-umpatanku.
Lamunanku seketika
buyar ketika terdengar seseorang memanggilku dari bawah tangga.
“Kinan... Kinan...
Sini, turun sebentar!”
Rupanya suara Putri
memanggilku, ada apa gerangan? Biasanya tak pernah sekali pun ada yang menggangguku
ketika aku di sini, sejak peristiwa itu. Ya, sejak peristiwa itu.
Peristiwa yang takkan
mudah dilupakan semua warga pondok. Peristiwa yang menjadi latar belakang
mengapa ustadz baru itu bergabung dan akan mengisi ceramah besok sore, yang
jelas, jelas menggangguku, dan membuatku tidak nyaman. Agama bukan ceramah.
Saat itu, ketika di
dalam kelas, Ustadz Ujang bertanya kepada temanku mengenai persoalan haid. Ustadz
Ujang bertanya, “Apa yang kamu ketahui tentang haid?” Siska temanku menjawab, “Haid
adalah darah kotor yang dikeluarkan seorang perempuan sudah baligh, ya ustadz.”
Ustadz diam, tak lama kemudian Ustadz Ujang bertanya kembali, “Mengapa darah
kotor itu bisa keluar?” Siska yang aku tahu memiliki karakteristik konyol dan
senang bergurau serta tidak pernah suka membaca hanya mampu mengunci
rapat-rapat bibirnya. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ustadz Ujang menyudahi
pertanyaan itu pada Siska, dan Siska disuruh menemui Ustadz Ujang di ruangannya
ba’da ashar. Ustadz Ujang berkata akan memberiya buku agar ia baca; tentu buku
tentang haid.
Kami santriwati yang
berusia kisaran 14 tahun ini memang sudah cukup menggoda syahwat laki-laki yang
tak memiliki iman. Tidak disangka tepat pukul 4 sore kurang 15 menit, terdengar
jeritan yang amat keras dari ruang Ustadz Ujang. Akhirnya semua warga pondok
menghampiri ruangan itu. Seketika terdobraklah ruang Ustadz Ujang yang dijebol
oleh beberapa orang santri. Hijab yang Siska kenakan berceceran di atas ubin. Sarung
yang dikenakan Ustadz Ujang melorot tak simetris. Pecinya dan kokonya tergeleak
di atas kursi.
Aku selaku teman
sekamar Siska datang menghampiri Ustadz Ujang yang duduk di lantai. Kuraih hijab Siska seraya tangan kananku meraih
tangannya. Sembari berdiri kukatakan, “Laknat Allah bersamamu, wahai guru!”
kupapah Siska kembali ke kamar. Santriwati yang mendukung dan menyukai Ustadz
Ujang mengadukan apa yang telah aku ucapkan kepada Pak Kiai. Tak menunggu waktu
lama, akhirnya aku di sidang oleh Sekretaris Pondok, yang mana ialah istri Pak Kiai
sendiri di hadapan seluruh santriwati.
“Kinan, apa yang kamu
ucapkan tadi kepada Ustadz Ujang bukanlah sesuatu yang benar dan terpuji.”
Ustadzah Rumi menyampaikan dengan lembut. Aku membalas, “Ya ustadzah, apa
sesungguhnya yang benar dan terpuji itu?” Riuh ruangan oleh santriwati yang
membelaku tidak terelakan lagi. Kami, selaku muslimah-muslimah muda
menginginkan keadilan. “Kinan setidaknya kamu harus mampu menahan diri dari
segala perbuatan yang seperti itu.”
Aku diam. Ruangan diam.
Semua santriwati seketika diam. Dalam diam aku berpikir. Kemudian, “Ya
ustadzah, boleh aku bertanya?” Ustadzah Rumi mempersilakan. “Ya ustadzah, apa
yang akan ustadzah lakukan ketika Pak Kiai akan menikah perempuan lain lagi?”
Suara dalam ruang
penyidanganku pun riuh lagi oleh teriakan santriwati-santriwati. “Kinan! Apa
maksud pertanyaanmu?!”, dengan nada sedikit tinggi ustadazah menjawab. “Sesungguhnya
aku hanya bertanya ustadzah, tidak ada maksud apa-apa, ustadzah hanya perlu
menjawabnya saja andaikata berkenan.” “Ya sudah jelas saya tidak akan
mengizinkannya Kinan!” “Itulah ustadzah, kita manusia kadang mudah menasihati
orang lain, namun jika datang suatu perkara kepada kita, kita luput hanyut oleh
nafsu. Bukankan kita hanya manusia biasa, makhluk kecil di hadapan Allah. Mengapa
ustadzah sedemikian khawatirnya? Bukankah suami atau istri adalah titipan
Allah? Yang bisa kapan saja Allah gerakan dengan kuasanya? Bukanlah lebih baik
berpoligami, nikah terang-terangan ketimbang berbuat seperti Ustadz Ujang?
Tidakkah Ustadazah ingat bunyi Surat Al Isra ayat 32?”
Ustadzah termenung,
seraya wajahnya merah merona – malu. “Kinan, tapi manusia dibelaki akal oleh
Allah untuk memutuskan apakah suatu perkara itu baik atau buruk, apakah suatu
perkara itu akan dijalani atau ditinggalkan.” Aku tersenyum mendengar apa yang
ustadzah ucapan, “Sama halnya dengan Ustadz Ujang ya ustadzah, sesungguhnya
Ustadz Ujang pun manusia, beliau memiliki akal, beliau bisa memutuskan mana
yang baik dan mana yang buruk, tak sepantasnya Siska mendapat perlakuan
demikian.” “Kinan, tak sepantasnya juga kamu bertanya kepadaku seperti tadi!”
Aku tertawa kecil dan tenggorokkanku sedikit tersedak mendengar ucapan
ustadzah, “Ya ustadzah, maka tak sepantasnya pula ustadzah melarang Pak Kiai berpoligami.”
Ruang penyidanganku ditinggalkan oleh Ustadzah Rumi begitu saja, tanpa salam
atau pamitan. Dalam hati aku mengumpat, apa ini sikap-sikap ketauhidan?
Seminggu setelah
peristiwa itu aku dengar bahwa Ustadz Ujang akhirnya dikeluarkan dari pondok. Dan
akan datang seseorang pengganti beliau, seorang yang akan mengajarkan fiqih. Seorang
yang akan ceramah besok sore di masjid pondok. Seseorang yang katanya akan
memberi pembekalan umum untuk menghadapi ramadan tahun ini. Seseorang yang
membuat soreku terganggu!
“Ya Put, ada apa? Tumben
kamu manggil aku. Apa ada masalah?”, aku bertanya kepada Putri sembari
bermalas-malasan. “Tidak Kinan, aku hanya ingin meminjam bukumu saja, novel
yang bersampul hijau tua itu, apa boleh? Akan kubaca di kamarku.” “Oh, boleh,
ambil saja. Titip, jangan sampai hilang ya Put.”, aku mencandainya.
Seraya Putri
meninggalkan kamarku, aku tidak kembali lagi ke atas loteng. Rasanya aku lelah,
dan aku butuh tidur. Biarlah untuk malam ini tidak ada satu kata pun yang aku
tulis. Aku sudah siap menghadapi hari besok yang membosankan; besok sore –
ceramah di masjid pondok itu tepatnya.
Serasa malam tergesa
pergi berpamitan, kokokan ayam peliharaan Pak Kiai sudah mendahuluiku terjada
dari tidur yang lelap. Subuh ini kutunaikan salat dan mengaji di masjid bersama
yang lainnya. Jam 6 nanti seperti biasa, keringat-keringat santri dipaksa
keluar guna membersihkan lapangan dan lingkungan pondok. Habis itu, makan pagi
(seragam dan serentak), dan kembali ke kelas untuk mempelajari kitab kuning
lengkap dengan kita putihnya.
Hari ini nampak tenang,
dan cuaca begitu akrab di pandangan bahkan sampai matahati di ufuk selatan. Terik
sang bola api itu tidak begitu menyengat tubuh. Pelajaran-pelajaran di kela
mampu aku serap dengan optimal. Hawa-hawa bulan suci ramadan bisa aku rasakan
dengan seksama. Ya, nuansa yang dirindukan seluruh umat muslim diseluruh dunia.
Nuansa ini. Nuansa ramadan.
Kelas pun akhirnya selesai,
dan seketika dahiku mengerut ketika langkah kaki gontai menuju kamar. Hatiku
kesal kalau mengingat kegiatan yang akan kulakukan sore ini; mendengar ceramah.
Kelapaku rasanya ingin meledak. Tubuhku ingin berontak. Hatiku menentang.
Mau tidak mau aku
menuruti apa yang diperintahkan Pak Kiai. Kuikuti ceramah dengan seksama.
Kuikuti jalannya ceramah itu bersama Putri dan juga Siska. Akhirnya ceramah pun
usai sebelum jam lima sore selesai. Ada beberapa menit yang bisa kuhabiskan
untuk duduk berdiam di loteng kamar.
Masih jelas kuingat ketika
Ustadz Guntur tadi mengatakan bahwa syarat sahnya puasa adalah niat. Beliau mengatakan
bahwa niat bukan hanya diucapkan dengan lisan namun dihayati dalam hati. Aku heran
mengapa seorang wanita yang haid tidak diperbolehkan untuk puasa? Jika memang
benar hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim itu benar bahwa, “sesungguhnya
setiap amalan bergantung dari niatnya.”, lantas mengapa persoalan haid menjadi
halangan perempuan untuk berpuasa? Aku kira perempuan yang haid itu masih bisa
berpuasa jika memang landasan adalah hadits tersebut. Karena apa pula yang
menjadi persoalan. Toh haid itu sesuatu yang fitrah. Sesuatu yang lumrah.
Selepas isya, Ustadz
Guntur dipersilakan untuk mengisi diskusi kepada seluruh santri; laki-laki dan
perempuan. Aku gunakan kesempatan ini untuk bertanya. “Assalamualaikumsalam... Ya
ustadz, apakah sesungguhnya setiap amalan itu bergantung pada niatnya?” “Waalaimusalam
warahmatullahi wabarokatu... Iya Kinan, itu benar. Bahwa sesungguhnya setiap
amalan yang dilakukan oleh manusia itu bergantung pada niatnya. Mengapa
memangnya, ada hal lain yang hendak kau tanyakan?”
Lama aku berpikir, aku
ragu, di sisi lain aku sadar bahwa apa yang akan aku tanyakan merupakan hal
sudah tangguh. Apakah tidak akan terjadi dampak buruk ketika aku mempertanyakan
ulang mengani hal ini. Keraguan-keraguan dan segala resiko yang berpeluang
terjaid berkecamuk dalam pikiranku. Namun semua itu nyatanya kalah oleh
keingin-tahuanku mengenai pandangan ustadz baru ini tentang hal yang akan aku
tanyakan.
“Ya Ustadz, jika memang
benar begitu, mengapa perempuan yang tengah haid tidak diperkenankan untuk menjalani ibadah puasa?”, aku bertanya dengan
sedikit terbata.
“Pertanyaan bagus
Kinan, ada yang ingin menanggapi?” Semua orang yang ada di dalam masjid diam,
tak ada yang mengajukan diri untuk menanggapi apa yang aku tanyakan barusan.
“Kinan, tidakkah engkau
ingat hadits yang diriwayatkan Muslim, yang isinya mengenai percakapan antara
Mu’adzah dan Aisyah?” Ustadz Guntur memulai perbincangan, sembari membenarkan
letak lutut kirinya.
“Aku ingat, isinya
tentang qhodo puasa bagi perempuan yang tengahh haid. Maka dari itu, itulah
yang aku tanyakan, mengapa perempuan yang tengah haid tidak diwajibkan untuk
berpuasa seperti yang dilakukan ketika tidak haid? Bukankah setiap amalan
bergantung dari niatnya?”
“Apa salahnya mengqodo
puasa di hari lain?”
“Ya ustadz, apa salahnya
pula melakukan puasa ketika haid?”
“Kinan, bukankah akan
lebih baik menjalani ibadah puasa saat kita sedang bersih?”
“Ya ustadz, apakah
perihal bersih hanya dinilai dari keadaan luar saja?”
“Bukan. Bukan seperti
itu.”
“Lantas bagaimana
ustadz?”
“Setidaknya jika kita
dalam keadaan bersih badan, maka ibadah kita akan lebih sempurna?”
“Apa itu yang dinamakan
sempurna? Saya kira semua sudah jelas dalam Quran Surat Al Mulk ayat 13-14?,
bukan begitu ustadz?”
Ustadz Guntur diam. Seolah
ia tersambar guntur; hangus badan, hangus ucapan. Pak Kiai mencairkan suasana,
dengan bertepuk tangan atas dialog yang aku lakukan dengan Ustadz Ujang.
Sungguh itu perbuatan konyol yang pernah aku lihat dari Pak Kiai. Akhirnya, Pak
Kiai mempersilakan santri dan santriwati lain untuk bertanya, apa pun yang
ingin ditanyakan, lebih khususnya mengenai ibadah puasa.
Dalam hati aku berucap,
“Akulah Kinan. Kinanti Citrabumi. Segalanya akan kutanyakan; baik yang mapan
atau masih menjadi persoalan. Akulah Kinan. Kinanti Citrabumi, iman takwaku
adalah dialog dan perilaku.”
Cigugur,
16 Juni 2015
0 Response to "CERPEN: DIALOG"
Post a Comment