PUISI: WAJAH

Keakraban yang terjadi pada kita di mulai sejak kita saling melempar senyuman. Rasa yang pekat dengan riang ini amatlah bodoh. Cinta tak bertuan. Cinta tak memiliki pelabuhan. Kita adalah jarak. Kita adalah lautan lepas setelah birunya pantai habis dari pandang. Kita adalah ketidak-mungkinan. Namun kita adalah satu; menyatu dalam sebuah panggilan dan doa. Menyatu dalam sebuah makna tanpa kata-kata. Kita adalah keakraban yang tak pernah bertegur sapa dan berucap salam.
Semula pohon yang tegak berdiri menjulang walau tak sampai langit di pinggiran trotoar itu lengkat dengan lumut dan rumput. Kini semua tertata bersih dan rapih. Tangan-tangan kuning dengan dorongan yang kuat menyapu lantai tempat berpijak. Tangan-tangan kuning dengan harapan yang kuat mengelap lantai tempat berpijak.
Setiap hari upaya untuk memahami keadaan itu, dilakukan tanpa henti. Kepala jadi kaki, kaki menjadi kepala. Hati menjadi mulut, mulut menjadi bungkam. Hati menjadi mata, mata menjadi buta. Bias. Tak jelas lagi. Kabur. Apatah rela diri tak punya lagi tempat hinggap. Sayap gereja niscaya letihnya. Kaki tupai niscaya cederanya. Ke mana lagi, di mana lagi, kepada siapa lagi, kepada apa lagi.
Wajah tak bermuka. Wajah cinta hilang dengan uang. Wajah Indonesia muram. Wajah manusia bermacam muka. Wajah kita. Iniah wajah kita, wajah Indonesia.

Cigugur, 13 Juni 2015


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PUISI: WAJAH"

Post a Comment