HARGA DIRI BANGSA ADALAH BAHASANYA

oleh Zaka Vikryan

Bangsa adalah suatu komunitas manusia yang terikat oleh aturan yang mereka sepakati bersama. Definisi tersebut kiranya sejalan dengan apa yang dikemukaan oleh Joseph Stalin bahwa suatu bangsa terbentuk secara historis, merupakan komunitas rakyat yang stabil yang terbentuk atas dasar kesamaan bahasa, wilayah, ekonomi, serta perasaan psikologis yang terwujud dalam budaya bersama. Pandangan yang nyaris sama juga datang Friederich Ratzel, ia mengatakan bahwa bangsa adalah kelompok manusia yang terbentuk karena adanya hasrat (kemauan) untuk bersatu yang timbul dari adanya rasa kesatuan antara manusia dan tempat tinggalnya. Dari beberapa asumsi mengenai bangsa di atas maka dapat ditarik benang merah tentang arti kata “bangsa”, yakni kesepatakan manusia atas berbagai hal dan hidup pada suatu wilayah tertentu.

Karena bangsa merupakan suatu komunitas yang di dalamnya terdiri dari manusia, maka kiranya bangsa memiliki sifat-sifat kemanusiawian; perspektif, paradigma, asas, ideologi, dan lain-lain. Perbedaan tentang itu semua niscaya adanya. Hal itu disebabkan karena manusia yang mengatasnamakan dirinya bagian dari sebuah bangsa tidaklah dapat berdiri sendiri; keberadaan manusia lainnya tentu merupakan sesuatu yang sifatnya mutlak.

Kemutlakan itu dengan atau tanpa disadari akan menimbulkan perbedaan-perbedaan di dalamnya (kehidupan sebuah bangsa). Perbedaan-perbedaan muncul dikarenakan manusia yang satu dan manusia yang lainnya tentulah berbeda pola pikir, sudut pandang, agama, bahkan bahasanya (dalam arti bahasa ibu dan bahasa daerahnya)

Secara personal, Freud mengatakan bahwa manusia memiliki tiga aspek dasar, yaitu aspek biologis, aspek psikologi (struktur ego), dan aspek sosiologis (super ego). Aspek biologis ini ialah aspek ragawi, artinya bisa dilihat dan diteliti langsung oleh pandangan mata kasat. Aspek psikologis pun dapat dilihat atau diperhatikan hanya titik fokusnya bukanlah ragawi melainkan pola hidup, pola pikir, dan pola pandang manusia itu sendiri. Kemudian yang terakhir aspek sosiologis ialah aspek yang titik fokusnya bukan manusia yang secara mandiri berdiri sendiri. Pada aspek sosiologis ini diperlukan manusia lain untuk menjalin hubungan sosial. Jika hal tersebut tidak terjadi maka mustahil kita akan dapat memperhatikan aspek sosiologis seseorang (manusia). Pada aspek psikologis inilah yang akan menjadi titik pijak pembahasan kali ini.

Abdul Chaer dalam bukunya yang berjudul Psikolinguistik mengatakan bahwa dalam perkembangannya psikologi telah terbagi menjadi beberapa aliran sesuai dengan paham filsafat yang dianut. Karena itulah dikenal adanya psikologi yang mentalistik, yang behavioristik, dan yang kognitifistik. Psikologi mentalistik diisebut juga sebagai psikologi kesadaran dan tujuan utama psikologi ini ialah mengkaji proses-proses akal manusia dengan cara mengintrospeksi diri. Psikologi behavioristik atau disebut juga psikologi perilaku dan tujuan utamanya ialah mengkaji perilaku manusia yang berupa reaksi apabila suatu rangsangan terjadi serta selanjutnya bagaimana mengawasi dan mengontrol perilaku. Psikologi kognitifistik juga disebut psikologi kognitif dan tujuan utamanya adalah mengkaji proses-proses kognitif manusia secara ilmiah. Hal utama yang dikaji oleh oleh psikologi ini ialah bagaimana cara manusia memperoleh, menafsirkan, mengatur, menyimpan, mengeluarkan, dan menggunakan pengetahuannya termasuk pernggunaan pengetahuan bahasa.

Jika psikologi behavioristik lebih menekankan titik kajian pada pola perilaku manusia, maka psikologi kesadaran dan kognitif lebih memfokuskan kajiannya pada bidang akal, pikiran, dan apa pun yang sifatnya tidak nyata (kasat mata) seperti halnya perilaku manusia. Berkat irisan seperti itu, maka kita dapat menentukan bahwa kajian harga diri sesungguhnya dapat ditinjau dari kesemuanya aliran psikologi yang telah disebutkan tadi.

Berbicara mengenai harga diri manusia (personal) tentu dapat kita lihat dari tingkah laku manusia yang kita kaji. Manusia yang memiliki harga diri setidaknya akan menunjukkan pola perilaku berbeda dengan yang lainnya, bertanggung jawab, tidak serampangan, dan pola perilaku yang memiliki arti, serta kecenderungan untuk selalu menunjukkan kejelasan dan potensi (apa pun) dari dalam dirinya.

Bukan hanya melalui tingkah laku saja kita dapat memperhatikan harga diri seseorang, melainkan dari cara berpikir dan mengolah masalah menjadi sebuah kesempatan emas, strategi dan taktik dalam menyelesaikan masalah, pengelolaan ilmu yang baik sebelum diejawantahkan, pengondisian diri secara mandiri; tidak mudah digiring oleh opini, dan pola pikir yang menjadi poros manusia lain.

Setiap manusia pastilah mendambakan dirinya yang seperti itu meskipun lidah berkata lain, namun dalam hatinya kemungkinan besar akan menjawab, “Iya”. Itu semua merupakan hal wajar dan manusiawi. Pada hakikatnya semua orang ingin dihargai dan diterima serta diakui keberadaannya di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, persoalan harga diri bagi setiap manusia kadang kala menjadi suatu hal yang krusial karena hanya manusia yang memiliki harga dirilah yang akan menjadi manusia yang merdeka dan nilai dimata manusia lainnya.

Naik dan turunnya harga diri manusia tidaklah dapat dinilai oleh manusianya itu sendiri karena hal itu merupakan sesuatu datang dari lawan sosial (manusia lainnya). Meskipun begitu, kita dapat mewujudkan itu semua jika memang niat dalam hati sudah bulat dan memiliki kemauan yang tinggi. Untuk menimbulkan niat yang bulat dari dalam hati dan kemauan yang tinggi terlebih dahulu kita harus mengenal diri kita dan itu tidaklah mudah, hanya orang-orang yang berani menelanjangi dirinyalah yang dapat mengenal dan memahami dirinya sendiri.

Kiranya analogi manusia (personal) yang tahu dan paham akan dirinya inilah yang dapat digunakan untuk menggambarkan sebuah bangsa yang memiliki harga diri. Artinya, bangsa yang mandiri dan tidak ditunggangi oleh apa pun di luar dirinya (bangsa lainnya). Sejatinya banyak cara bagaimana kita dapat mengenal jati diri bangsa misalnya melalui alur sejarah bangsa, melalui budaya bangsa, dan melalui bahasa resmi yang disepakati oleh bangsa tersebut.

Dalam Psikolinguistik – Abdul Chaer, Wilhelm Von Humbolt, seorang linguis asal Jerman mengatakan bahwa adanya kebergantungan pemikiran manusia pada bahasa. Maksudnya pandangan hidup dan budaya ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Anggota-anggota masyarakat itu tidak dapat menyimpang lagi dari garis-garis yang telah ditentukan oleh bahasanya. Kalau salah seorang dari anggota masyarakat ini ingin mengubah pandangan hidupnya, maka dia harus mempelajari dulu satu bahasa lain. Dari apa yang dikemukakan oleh Wilhelm ini kita bisa tahu betapa sentralnya peranan bahasa bagi diri sendiri (personal; baik manusia maupun bangsa).

Bangsa Indonesia dalam alur sejarahnya menyepakati bahwa bahasa persatuannya ialah bahasa Indonesia, tepatnya dimulai sejak persitiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Kemudian dari sana banyak pula melahirkan kongres-kongres yang isinya mengenai kebahasaan – terlepas dari unsur hegemoni politik atau akademik – sampai akhirnya kita sekarang dapat dengan mudah mempelajari bahasa Indonesia melalui buku-buku ajar atau pun kamus besar bahasa Indonesia atau pun tesaurus bahasa Indonesia yang sudah tersusun sistematis.

Pertanyaan selanjutnya ialah apakah dengan kesepakatan yang dibungkus oleh kata “sumpah” ini benar-benar dilaksanakan? Saya kira kita tidak dapat menjawab “Iya” dengan utuh, begitu pun dengan jawaban “tidak”. Buktinya, masih banyak masyarakat Indonesia yang kurang tepat dalam menggunakan bahasa Indonesia baik lisan maupun tulisan. Kekhawatiran saya rasanya cukup beralasan, jika kita ingat kembali apa yang dikatakan oleh Wilhelm dan realitas bangsa Indonesia yang secara garis besar masih tuna bahasa (bahasa Indonesia).

Orang Indonesia berlomba-lomba menguasai dan mempelajari bahasa asing (Inggris, Arab, dan lainnya) tetapi melupakan bahasa sendiri. Orang Indonesia tidak sedikit yang memandang remeh bahasa Indonesia (kaitannya dengan pemerolehan bahasa secara formal; pendidikan). Mereka menganggap bahasa Indonesia tidaklah harus dipelajari secara formal karena sudah mendarah-daging dengan diri disetiap harinya. Padahal anggapan seperti itu salah besar. Bahasa Indonesia tidak dapat dipandang remeh begitu saja. Untuk mempelajarinya diperlukan ketekunan dan keseriusan.

Akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa bahasa ini ialah sesuatu yang penting. Selain posisinya yang berfungsi sebagai identitas suatu bangsa, bahasa juga mampu menggambarkan pandangan hidup pemiliknya. Kalau kita sebagai orang Indonesia hanya menganggap penting bahasa asing maka saya kiranya tidak berlebihan jika mengatakan Indonesia masih belum merdeka. Kita masih terjajah oleh bangsa lain, bahkan bukan hanya terjajah oleh satu bangsa. Dan sejatinya kita tidak memiliki pandangan hidup yang berakar kuat. Untuk itu, mari mulai sekarang kita perlakukan lebih baik bahasa kita (bahasa Indonesia) agar kita bisa memperoleh suatu penghargaan diri dari bangsa lain. Kalau bukan kita yang menghargai bahasa kita maka siapa lagi yang akan melakukanya. Kita akan dihargai bangsa lain kalau kita menghargai diri sendiri; bahasa kita sendiri – bahasa Indonesia.


Cigugur, 11 Oktober 2015

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "HARGA DIRI BANGSA ADALAH BAHASANYA"

Post a Comment