ESTETIKA BAHASA SASTRA
ESTETIKA
Pada
abad pertengahan, Thomas Aquinas merumuskan keindahan sebagai id quod visum placet (sesuatu yang
menyenangkan bila dilihat). Lebih jauh darinya, kaum Sofis di Athena (abad 5
sebelum Masehi) memberikan batasan keindahan sebagai sesuatu yang menyenangkan
terhadap penglihatan atau pendengaran. Maka tak terelakan lagi bahwasannya
estetika sering diartikan sebagai persepsi indera. Ungkapan tersebut nampak berbanding
lurus jika dilihat dari segi etimologinya, bahwa kata estetika itu sendiri lahir
di tanah Yunani; “aisthetika”, yang memiliki arti hal-hal yang dapat diserap
oleh panca-indera.
Menurut kaum empiris dari zaman Barok,
permasalahan seni ditentukan oleh reaksi pengamatan terhadap karya seni.
Perhatian terletak pada penganalisisan terhadap rasa seni, rasa indah, dan rasa
keluhuran. Sejalan dengan kaum empiris pada zaman Barok, Sortais menyatakan
bahwa keindahan ditentukan oleh keadaan objektif dari bentuk.
Ada
dua teori tentang estetika, yaitu yang bersifat subjektif dan objektif.
Estetika yang bersifat subjektif merupakan keindahan yang ada pada mata yang
memandang. Sedangkan yang bersifat objektif menempatkan keindahan pada benda
yang dilihat.
Membicarakan
estetika maka tidak akan lepas dari perbincangan kita tentang suatu nilai.
Dalam bidang filsafat, istilah nilai acap kali dipakai sebagai sesuatu yang
abstrak yang berarti keberhargaan dan kebaikan. Nilai merupakan kasta yang
dapat diperhatikan, diteliti, atau diresapi dalam berbagai objek yang bersifat
fisik maupun abstrak. Dalam Dictionary of
Sociology and Related Sciences diberikan perumusan tentang value yang lebih terperinci, yakni: The belived capacity of any object to
satisfy a human desire. The quality of any object which causes it to be
interest to an individual or a group.
Kedewasaan
menikmati karya seni dapat diukur dari seberapa banyaknya pengalaman estetik
yang dilalui. John Dewey membedakan dua kategori pengalaman dalam menikmati
karya seni, yaitu pengalaman artistik dan pengalaman estetik. Pengalaman
artistik adalah pengalaman seni yang terjadi dalam proses penciptaan karya
seni. Pengalaman ini dirasakan oleh seniman atau pencipta seni pada saat
melakukan aktivitas artistik. Proses ini dinamakan proses kreatif. Pengalaman
estetik adalah pengalaman yang dirasakan oleh penikmat terhadap karya estetik. Di sisi lain Kant berpendapat juga tentang
pengalaman estetik. Menurutnya pengalaman estetik bersifat tanpa pamrih,
manusia tidak mencari keuntungan, tidak terdorong pertimbangan praktis. Yang
terpenting adalah kenikmatan dan kepuasan jiwa, karena alam telah menyegarkan
pikiran dan perasaan.
Baik
pelaku seni atau pun penikmat seni, kesemuanya secara sadar atau pun tidak akan
berangkat dan memososisikan dirinya sebagai pengamat terlebih dahulu. Kolerasi
yang terjadi antara pengamat dan karya seni akan menimbulkan suatu tanggapan
estetis yang berupa nilai-nilai seni. Sedangkan kolerasi yang akan terjadi
antara pengamat dan alam akan menimbulkan suatu tanggapan estetis pula yang
berupa kebenaran, keagungan, keimanan, dan nilai-nilai moral atau spiritual.
BAHASA
Ferdinand de Saussure membedakan
antara yang disebutkan langage, langue, dan
parole. Ketiga istilah yang berasal
dari bahasa Perancis itu, dalam bahasa Indonesia secara tidak cermat, lazim
dipadankan dengan satu istilah, yaitu bahasa. Namun sebenarnya, ketiga istilah
tersebut mempunyai pengertian yang berbeda meskipun ketiganya mempunyai
ketersangkut-pautan dengan bahasa. Istilah langage
dalam bahasa Perancis digunakan untuk menyebut bahasa sebagai sistem
lambang bunyi yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi
secara verbal di antara sesamanya. Langage
ini bersifat abstrak. Maka Abdul Chaer dan Leoni Agustina, menafsirkan bahwa
istilah langage dapat dipadankan
dengan kata bahasa yang terdapat
dalam kalimat “Manusia mempunyai bahasa,
binatang tidak.” Jadi penggunaan istilah bahasa
pada kalimat itu sebagai padanan langage,
tidak mengacu pada salah satu bahasa tertentu, melainkan mengacu pada bahasa
umumnya, sebagai alat komunikasi manusia.
Binatang pun melakukan kegiatan
komunikasi, tetapi alat yang digunakan bukan bahasa. Berlandaskan 16 butir yang
keistimewaan yang disarikan dari Hockett dan Mc Neill maka akan nampak terang
bahwa binatang tidaklah menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya. Salah
satu butirnya berbunyi: bahasa mempunyai dua subsistem, yaitu subsistem bunyi
dan subsistem makna, yang memungkinkan bahasa itu memiliki keekonomisan fungsi.
Keekonomisan fungsi ini terjadi karena bermacam-macam unit bunyi yang
fungsional bisa dikelompokan dan dikelompokan lagi ke dalam unit-unit yang
berarti. Umpamanya, fonem-fonem /i/, /a/, t/, dan /k/ dalam bahasa Indonesia
dapat dikelompokan ke dalam unit yang mempunyai arti, seperti, /kita/, /kiat/,
dan /ikat/. Ciri seperti ini tidak ada pada alat komunikasi hewan: gonggongan
anjing, atau teriakan simpanse, adalah satu kesatuan yang tidak dapat
dianalisis dan digabung-gabungkan.
Istilah berikutnya yang diungkapkan
oleh Ferdinand de Saussure adalah langue dan
parole. Langue adalah sebuah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh
sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraski
sesamanya. Padanan langue sebagai
bahasa ini dapat kita jumpai dalam contoh kalimat “Aku belajar bahasa
Indonesia, sedangkan dia belajar bahasa Inggris.” Sedangkan parole merupakan pelaksaan dari langue dalam bentuk ujaran atau tuturan
yang dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam berinteraksi atau
berkomunikasi di antara sesamanya. Parole
sebagai bahasa ini akan nampak
terang jika kita padankan dengan kalimat “Kalau Pak Harto berbicara bahasanya penuh dengan akhiran ken.”
Parole inilah yang
menjadi bidikan observasi empiris dalam objek studi linguistik. Memang ada
pendapat lain pula bahwa yang menjadi objek studi linguistik adalah langue, namun tetap saja prosesnya akan
melalui sebuah kajian tentang parole.
Hal ini disebabkan karena langue
masih bersifat abstrak sama halnya seperti langage.
Sedangkan kita tahu bahwa untuk melalukan sebuah kajian atau obeservasi
haruslah berdasar pada data empiris.
Layaknya
hakikat dari bahasa itu sendiri yang memosisikan dirinya sebagai alat
komunikasi, maka kita akan kembali sadar bahwa bahasa bukanlah semata-mata
digunakan untuk berkomunikasi pada tataran denotatif atau ilmiah saja,
melainkan di sisi lain – bahasa dapat kita gunakan pula dalam ruang sastra, yang
penuh dengan ide dan imajinasi dengan maksud yang sama tentunya, yakni
berkomunikasi antar sesama manusia (penulis-pembaca; kaitannya dengan dunia
tulisan).
ESTETIKA
BAHASA SASTRA
Bahasa yang terdapat dalam sastra (puisi,
prosa fiksi, dan drama), khususnya puisi sebagian besar memuat bahasa-bahasa
yang tidak normal. Maksudnya, ketika kita membandingkan bahasa yang terdapat
dalam sastra dengan bahasa karya ilmiah sudah tentu berbeda muatannya. Misalnya
saja kata senja, dalam karang ilmiah
barangkali kata tersebut dapat mewakilkan sebuah suasana atau waktu yang
merupakan gradasi dari siang hari ke malam hari. Akan tetapi dalam dunia sastra
(puisi) kata senja bisa saja
diasosiasikan sebagai pemberian makna usia suatu zat/ benda yang tua renta.
Rasa
yang termuat dalam suatu kata pun berbeda antara kata yang termuat dalam sastra
dan kata yang terdapat dalam karya ilmiah. Misalnya saja racun, yang terdapat dalam kalimat “Racun yang terdapat dalam bisa kobra dapat mematikan mangsanya
dalam hitungan detik.” Racun dalam
kalimat tersebut menukik pada sesuatu hal yang memiliki muatan negatif. Berbeda
halnya dengan larik puisi Si Burung Merak dalam puisinya yang berjudul kangen: /engkau
telah menjadi racun bagi darahku/,
/apabila aku dalam kangen dan sepi/. Telinga dan hati mana yang tidak bergidik
nan bergetar kagum ketika mendengar atau membaca larik WS Rendra itu.
Namun,
jauh lebih mendasar dari pada itu, dalam memahami makna yang terdapat dalam
sebuah puisi perlulah perhatian secara lebih dan khusus. Analisis intrinsik dan
ekstrinsik yang kuat, tajam, dan mendasar perlulah dilakukan untuk mencapai
keutuhan pemahaman tentang pesan yang disampaikan penulis tersebut.
Di periode
lain dengan laki Ken Zuraida, ada seorang pria kelahiran Rengat Riau pada 24
Juni 1941 yang mendapat julukan Presiden Penyair; Sutardji Calzoum Bachrie.
Beliau memilih diksi yang terbilang akrab ditelinga yaitu kontol dalam puisinya yang berjudul Amuk (O Amuk Kapak – Sutardji Calzoum Bachrie, 2002: 62).
Sungguh, diksi tersebut sepintas akan terasa riskan bahkan terkesan menganggu
bagi mereka yang bermukim ‘di ruang sepetak’
Terdapat
berbagai varian pendekatan untuk memahami sebuah karya. Misalnya pendekatan
mimesis. Pendekatan yang diklaim oleh Abrams sebagai pendekatan estetis paling
primitif ini bertumpu pada karya sastra itu sendiri. Pendekatan semacam ini
sangat perlu dilakukan nan dikembangkan di Indonesia karena akan berimplikasi
terhadap usahanya untuk menopang keragaman khazanah kebudayaan. Pemahaman
terhadap ciri-ciri kebudayaan kelompok yang lain dapat meningkatkan solidaritas
sekaligus menghapuskan berbagai kecurigaan dan kecemburuan sosial.
Ruang
dialek yang bervariasi ini akan menjadi persoalan besar bagi para manusia yang kurung batokeun. Contoh lain misalnya,
di tanah Banten kata ewe bersinonim
dengan kata nikah dalam bahasa
Indonesia. Kata ewe sendiri dalam
tataran bahasa Sunda, khususnya Sunda parahyangan, merupakan kata yang berkasta
rendah (kasar). Namun anggapan rendah (kasar) tersebut masih perlu diusut lebih
dalam. Jangan-jangan manusia Banten sendiri mengganggap kata itu biasa saja.
Artinya kata itu sama saja posisi dan nilainya dengan kata belajar, baca, tulis,
dan lain-lain.
Guiraud
(1970) menyatakan bahwa pembeda dialek tersebut salah satunya dapat dilihat
berdasarkan pada perbedaan mofologis, yakni perbedaan yang dibatasi oleh adanya
sistem tata bahasa yang bersangkutan, oleh frekuensi morfem-morfem yang
berbeda, oleh kegunaannya yang berkerabat, oleh wujud fonetisnya, oleh daya
rasanya, dan oleh sejumlah faktor lainnya lagi.
Dari
perspektif etimologi, dialektika berasal dari kata dialectica, bahasa latin, berarti cara membahas. Secara historis
metode dialektika sudah ada sejak zaman Plato, tetapi diperkenalkan secara
formal oleh Hegel. Mekanisme kerjanya terdiri atas tesis, antitesis, dan sintesis.
Menurut
Hauser, dalam dialektika unsur yang satu tidak harus lebur ke dalam unsur yang
lain, individualitas justru dipertahankan di samping interdependensinya.
Kontradiksi tidak dimaksudkan untuk menguntungkan secara sepihak, sintetis
bukanlah hasil yang pasti, tetapi justru merupakan awal penelusuran gejala
berikutnya.
Manusia yang meminati atau hendak
serius dalam dunia bahasa dan sastra nampaknya haruslah melakukan penelitian
geografi dialek untuk mendapatkan pengalaman dan pemahaman yang utuh. Rumusan
ini merupakan salah satu wacana penting dalam kajian sosiolinguistik dan
psikolinguistik – Jaberg (1936) beranggapan dengan dilakukannya penelitian
geografi dialek maka akan menciptakan pengetahuan tentang biologi bahasa,
sosiologi bahasa, dan hubungan antara kata dengan hal atau benda yang
dilambangkan. Hal ini sejalan dengan pendekatan antropologis dalam sebuah usaha
untuk menangkap nilai estetis dan memahami sebuah karya sastra secara ‘tuntas’.
Ingin
aku tulis
Sajak porno sehingga
Kata mentah tidak diubah
Jadi indah, pokoknya
Tidak perlu kiasan lagii
Misalnya payudara jadi bukit
Tubuh wanita = alam hangat
Senggama =
pelukan yang paling akrab
(Sajak “Post Scriptum” Toety Heraty)
Sungguh, bait yang lahir dari ‘rahim’
Toety Heraty ini merupakan contoh kejujuran yang agung. Namun, pada kesempatan
kali ini arah perbincangan tidak ditujukan untuk mengungkap sebuah nilai
feminisme atau pemberontakan ataunya lagi distorsi semiotika dari sajak
tersebut, melainkan hanya ingin memberikan contoh lain dari estetika bahasa
sastra yang patut untuk dinikmati guna mencapai kerterpahaman sebuah pesan yang
disuratkan.
Secara praktis antropologis sastra
diharapkan dapat membantu memperkenalkan khazanah sastra yang terpencil dan terisolasi,
yang secara tidak langsung berarti telah membantu pemahaman ‘bhineka tunggal
ika’ (N Kutha Ratna, 2004: 358)
Penikmatan berbeda dengan
pengamatan. Penikmatan merupakan proses dimensi psikologis, proses interaksi
antara aspek intrinsik seseorang terhadap sebuah karya estetik. Relativitas
kajian tersebut bergantung pada tingkatan relativitas seseorang dalam
menghadapi karya seni. Selain itu, relativitas tersebut juga bergantung dari
tingkatan intelektualitas seseorang, latar budayanya, dan keluesan emosionalnya.
Dalam proses memahami karya seni
sangat diperlukan penikmat yang baik, sedangkan untuk mengungkap isi atau makna
dalam karya estetika diperlukan sikap logis seorang penghayat, sehingga apabila
seseorang mampu melakukan kedua aspek tersebut secara bersamaan maka barulah
individu tersebut siap dengan kajian kritik karya seni. Wallahu alam.
Cigugur, 04 Oktober 2014
0 Response to "ESTETIKA BAHASA SASTRA"
Post a Comment