MENEGASKAN KEMBALI PERAN SOSIAL SASTRA
oleh Ahmadun Yosi Herfanda (Pengajar dan Sastrawan)
Wacana tentang peran sosial sastra sering mengemukan dalam berbagai
diskusi, seminar, dan artikel-artikel di media sastra. Banyak yang percaya,
bahwa karya sastra, baik prosa maupun puisi, memiliki peran sosial yang penting
sebagai sumber inspirasi yang dapat mendorong munculnya proses perubahan
masyarakat ke arah yang lebih baik. Namun, tidak kurang yang meragukannya.
Sapardi Djoko Damono, misalnya, menganggap peran sosial sastra hanyalah seperti
lebah tanpa sengat.[1]
Kenyataannya, di tengah banyaknya karya sastra yang
ditulis hanya untuk menggapai keindahan bahasa dan kekuatan cerita tanpa
memperhatikan makna dan pesannya; tetap banyak pula karya sastra yang ditulis untuk
tujuan sosial tertentu. Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dengan novel
bertendensnya, Kuntowijoyo dengan sastra profetiknya, Rendra dengan sajak-sajak
kritik sosialnya, Abdul Hadi WM dengan estetika sufistiknya, dan Emha Ainun
Nadjib dengan sastra kafahnya, merupakan contoh kuat betapa karya sastra dipercaya
memiliki peran yang penting untuk mencerahkan hati nurani pembacanya.
Melalui novel bertendensnya, Layar Terkembang, STA meyakini bahwa
karya sastra (novel) dapat menjadi sumber inspirasi untuk mendorong kemajuan
bangsa. Dalam novel ini Takdir menuangkan renungan dan gagasannya untuk
memajukan masyarakat, terutama kaum perempuan. Dalam novel ini STA
mempraktekkan prinsipnya dalam bersastra, bahwa sastra bukan sekadar untuk
seni, tapi untuk kebermanfaatan dan pencerdasan masyarakat. Karena itu, menurut
STA, sastra tidaklah bisa bermewah-mewah
dengan keindahan untuk mencapai kepuasan seseorang dalam mencipta, tetapi harus
dilibatkan secara aktif dalam seluruh pembangunan bangsa, serta harus dapat membuat
pembaca lebih optimis dan menghadapi hidup dengan semangat juang yang tinggi
untuk mengatasi berbagai masalah dan situasi kritis.[2]
Melalui gagasan sastra profetiknya, Kuntowijoyo
meyakini bahwa karya sastra dapat membawa misi kenabian, dengan merujuk pada QS
Al Imran 110, yakni amar ma’ruf (menyuruh kebaikan), nahyi munkar (mencegah keburukan),
dan tu’minunu billah (beriman
kepada Allah). Menurut Kuntowijoyo, sastra profetik adalah sastra yang membawa
tiga misi sekaligus, yakni humanisasi (meningkatkan
kemanusiaan manusia), liberasi (pembebaskan manusia dari
kemiskinan, dan berbagai bentuk penindasan), serta transendensi (membawa
manusia pada nilai-nilai keimanan pada Tuhan).[3]
Sastra terlibat
Dengan kesadaran pada fungsi sosial sastra, dalam
dasawarsa 1980-an, Arief Budiman mewacanakan tentang pentingnya sastra terlibat
(peduli) pada persoalan bangsanya – kesadaran yang sudah ditegaskan oleh Sutan
Takdir Alisyahbana pada tahun 1930-an, dan bahkan telah dipraktekkan oleh
pujangga besar Kasunanan Surakarta, Ronggowarsito, pada abad ke-18, terutama
melalui Serat Kalathida.
Melalui sajak-sajak kritik sosialnya, Rendra juga menegaskan
bahwa karya sastra (puisi) mesti terlibat dengan persoalan masyarakat dan
bangsanya. Jika karya sastra hanya mengejar keindahan estetik, bagi Rendra,
tidak akan ada bedanya dengan hiasan atau renda-renda pada pakaian. Dalam hal
ini Rendra juga terinspirasi oleh Serat
Kalathida karya Ronggowarsito yang sangat kritis dalam melihat keadaan dan
menyebut zamannya sebagai “zaman edan” – yang tetap relevan untuk disimak di
tengah zaman yang tidak kalah edannya saat ini:
Hidup di zaman
edan,
gelap jiwa
bingung pikiran
turut edan hati
tak tahan
jika tak turut
batin merana dan
penasaran
tertindas dan
kelaparan
tapi janji Tuhan
sudah pasti
seuntung apa pun
orang yang lupa daratan
lebih selamat
orang yang menjaga kesadaran.[4]
Melalui sastra kafahnya – sajak-sajak yang
menggambarkan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan dan manusia
dengan sesamanya – Emha meyakini bahwa sajak-sajaknya akan dapat menjadi sumber
inspirasi bagi pembaca untuk membangun hubungan yang harmonis antara dirinya
dengan Tuhan dan dengan sesama manusia.
Gerakan Puisi Menolak Korupsi (PMK, 2013), yang
melibatkan lebih dari 100 penyair Indonesia dan menghasilkan tiga buku antologi
puisi, merupakan bukti terbaru bahwa banyak penyair Indonesia yang meniatkan
agar sajak-sajak yang mereka tulis tidak hanya membawa fungsi literer, tapi
juga fungsi sosial. Dengan sajak-sajak yang mengeritik korupsi, dan roadshow di banyak kota di Indonesia, mereka
berharap dapat menyadarkan para birokrat dan politisi untuk tidak korupsi,
serta memberikan dukungan moral agar para penegak hukum makin tegas dalam
memberantas korupsi yang telah menjadi wabah kronis negeri ini.[5]
Roadshow puisi menolak
korupsi itu menarik, karena mengusung puisi-puisi anti-korupsi. Bukan karena
sajak-sajak anti-korupsi karya para penyair Indonesia itu akan mampu
menghentikan kecenderungan politik dan kekuasaan yang korup, namun karena
adanya pertanyaan yang sangat menohok: apa arti puisi di tengah zaman yang
sudah benar-benar gila seperti sekarang ini? Lha wong undang-undang,
penjara, dan ayat suci, saja tidak mempan untuk menghentikan korupsi; apalagi
hanya puisi?
Seperti kita baca, kita dengar, dan kita lihat, bangsa
ini sedang berada di dalam zaman yang -- menurut istilah Ronggowarsito --
sangat pantas disebut sebagai ”zaman edan”. Zaman di mana kebenaran
dijungkirbalikkan, zaman ketika uang dan kekuasaan menjadi tuhan, zaman ketika
para ”garong berdasi” berpesta merayakan kemenangan, zaman ketika hukum dan
kebenaran diperdagangkan, zaman ketika ayat suci hanya dijadikan kedok untuk
menzalimi rakyat sendiri, zaman ketika pemimpin negeri sudah kehilangan wibawa
dan tak tahu harus berbuat apa.
Di tengah zaman yang
sudah keos seperti itu, yang sudah serba gila, dapatkah kita berharap pada “mahluk ganjil”
bernama puisi? Menghadapi kenyataan seperti
itu, rasanya kita sulit berharap dari puisi. Apalagi, jika melihat kenyataan bahwa tingkat apresiasi
sastra masyarakat masih rendah dan kita tidak yakin ada elit politik dan
kekuasaan yang suka serta sempat membaca puisi,
dan tersugesti olehnya untuk berubah menjadi elit politik yang patut diteladani.
Perjuangan penyair untuk melawan korupsi melalui
puisi rasanya akan berat dan memerlukan waktu yang panjang, jauh lebih panjang
daripada perjuangan KPK. Tetapi, sebagai
orang yang beragama,
kita tidak boleh putus asa. Betapapun redupnya cahaya harapaan itu, betapapun
kecilnya peluang puisi untuk ikut mendorong proses pencerahan masyarakat ke arah keadaan
yang lebih baik, yang
bebas dari korupsi, kita mesti terus
berupaya untuk mewujudkannya. Meskipun, dalam waktu lama, kita harus rela
menjadi Sisipus, yang dengan susah payah, tanpa kenal menyerah, terus berupaya
mendorong “batu harapan” ke atas “bukit kemenangan”.
Pendidikan nilai
Dalam tradisi puisi Nusantara sejak dulu disadari
bahwa karya sastra memiliki peran sosial yang penting sekaligus difungsikan
sebagai sarana pendidikan nilai. Dalam tradisi puisi Melayu, misalnya, pantun
tidak hanya ditempatkan sebagai hiasan budaya dan “penyambung hati” dalam
pergaulan, tapi juga sebagai sarana pendidikan nilai, sehingga selain ada
“pantun gaul” yang bersifat spontan dalam tradisi adu pantun, juga ada pantun
nasihat, pantun adat, dan pantun agama, yang bersifat lebih abadi.
Pemanfaatan sastra sebagai sarana pendidikan nilai –
juga sarana kritik sosial – juga terlihat pada tradisi puisi Jawa, seperti
syair-syair Sunan Bonang (“Syair Tombo Ati”), dan puisi-puisi Ronggowarsito
dalam Serat Kalathida. Pujangga
Melayu, Raja Alihaji, menegaskan fungsi sastra sebagai sarana pendidikan nilai
melalui “Gurindam Duabelas”, yang penuh
nilai ajaran agama, tata krama, adat, serta kepemimpinan yang arif dan
bijaksana, seperti terbaca pada kutipan berikut ini.
raja mufakat dengan
menteri
seperti kebun berpagar
duri
betul hati kepada raja
tanda jadi sebarang kerja
hukum adil atas rakyat
tanda raja beroleh inayat
kasihkan orang yang
berilmu
tanda rahmat atas dirimu
hormat akan orang yang
pandai
tanda mengenal kasa dan
cindai
ingatkan dirinya mati
itulah asal berbuat bakti
akhirat itu terlalu nyata
kepada hati yang tidak
buta[6]
Sejarah panjang kesastraan Nusantara -- Melayu,
Sunda, Bali, Bugis, dan Jawa – yang mengerucut pada kesastraan Indonesia,
mencatat bahwa karya sastra dicipta tidak hanya untuk mencapai keindahan
literer, tapi juga kebermanfaatan bagi masyarakat. Dari sinilah kebermanfaatan
sosial sastra dapat ditegaskan kembali dengan 10 fungsi utama sastra, sbb.
Pertama,
fungsi kultural, karena karya
sastra dapat menjadi media pewarisan nilai-nilai dan kekayaan budaya masyarakat
sekaligus meninggikan harkat kebudayaan suatu bangsa. Kedua, fungsi estetis karena karya satra memiliki unsur-unsur dan
nilai-nilai keindahan yang dapat meningkatkan rasa keindahan (sence of aesthetic) pembacanya. Ketiga, fungsi didaktis karena karya
sastra mengandung potensi yang bersifat mendidik dan mengandung unsur kebaikan
serta kebenaran. Keempat, fungsi
moralitas karena karya sastra mengandung nilai-nilai moral yang menjelaskan
tentang yang baik dan yang buruk serta yang benar dan yang salah.
Kelima, fungsi
religius karena karya sastra mampu memberikan pesan-pesan religius kepada para
pembacanya. Keenam,fungsi
inspiratif, karena karya sastra yang
baik dapat menjadi sumber inspirasi bagi pembacanya untuk menghasilkan karya
baru, pemikiran baru, dan bahkan mendorong proses perubahan. Ketujuh, fungsi psikologis, karena karya sastra
dapat membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi. Karya sastra dapat
menjadi media pelepasan atau katarsis. Kedelapan,
fungsi humanis, karena karya sastra dapat menyampaikan pesan-pesan
kemanusiaan kepada pembacanya. Kesembilan,
fungsi penyadaran dan pencerahan, karena karya sastra dapat menjadi media
penyadaran dan pencerahan hati nurani dan intelektualitas pembacanya. Tentu, orang pertama yang tercerahkan adalah pengarangnya
sendiri, baru kemudian pembacanya. Dan, kesepuluh, fungsi rekreatif, karena
karya sastra mengandung unsur-unsur yang menyenangkan pembacanya.[7]
Di dalam karya sastra terkandung nilai-nilai budaya
dan berbagai kearifan hidup suatu bangsa. Melalui karya sastra nilai-nilai
budaya, pranata sosial, etika, adat istiadat, tata karma, dan berbagai kearifan
hidup yang ada di masyarakat dibaca dan ditafsirkan kembali guna disampaikan
kepada masyarakat. Di sinilah sastra sebagai wahana pendidikan nilai
difungsikan. Karena itu, antara lain melalui karya sastra, baik prosa maupun
puisi, karakter masyarakat dan fondasi kebudayaan suatu bangsa dapat dibangun.
Orientasi
penciptaan
Seberapa besar peran dan fungsi
sastra sebagai wahana pendidikan nilai bagi masyarakat, ataupun sebagai sumber
inspirasi untuk mendorong proses perubahan social, sering bergantung pada
orientasi penciptaannya. Menurut M.H. Abrams,[8]
ada empat orientasi penciptaan yang lazim mendasari proses kreatif para
sastrawan. Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggambaran
alam. Kedua, karya sastra sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan
tertentu pada pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran
perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawannya. Dan, keempat, karya
sastra sebagai sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekeliling,
pembaca maupun pengarangnya.
Pada orientasi kedua, karya sastra
dipandang sebagai wahana untuk tujuan-tujuan yang cenderung
pragmatik-idealistik. Misalnya saja, sastra untuk sosialisasi ajaran agama
(sastra dakwah), sastra untuk membangun kesadaran politik yang sehat, atau
untuk mendorong munculnya kesadaran sosial
baru, seperti novel Max Havelar karya Multatuli[9]
yang mendorong gerakan politik etis di
kalangan elit Belanda bagi pribumi Hindia-Belanda. Contoh lain adalah
sajak-sajak Rabendranat Tagore[10]
yang dipercayai ikut mendorong semangat patriotisme kaum terpelajar India untuk
membebaskan bangsanya dari penjajahan Ingris.
Dapat disebut juga sajak-sajak
cinta tanah air Mohammad Yamin dan Ki Hajar Dewantara yang ikut memupuk rasa
kebangsaan anak-anak muda generasi 1920-an dan 1930-an dan diyakini menjadi salah satu
sumber inrspirasi lahirnya Sumpah Pemuda. Sementara, sajak-sajak patriotik
Chairil Anwar, seperti Diponegoro, Kerawang-Bekasi, Persetujuan dengan Bung
Karno, ikut menyemangati generasi 1940-an untuk merebut kemerdekaan dari
penjajah Belanda. Pada ketiga sajak tersebut pesan Chairil begitu jelas bagi
pembaca untuk memenangkan perjuangan dan mengisi kemerdekaan dengan
kebermaknaan:
Kami
cuma tulang-tulang berserakan
Tapi
adalah kepunyaanmu
Kaulah
kini yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau
jiwa kami melayang untuk kemerdekaan,
Kemenangan,
dan harapan. Atau tidak untuk apa-apa
Kami
tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah
sekarang yang berkata.[11]
Dari kacamata politik-kekuasaan,
sajak-sajak patriotik Chairil Anwar sebenarnya sangat subversif terhadap
kekuasaan penjajah Belanda, dan bisa lebih berbahaya dibanding slogan-slogan
perjuangan. Agaknya, tidak berlebihan
jika Mosye Dayan begitu takut pada sajak-sajak patriotik penyair Palestina, dan
menangkapi penyair-penyair pejuang seperti Fatwa Tuqan.[12]
Seperti diyakini GL Morino,[13]
sebuah sajak patriotik mampu merangsang seratus perbuatan heroik.
Kemampuan
tersembunyi
Apapun orientasi penciptaan karya
sastra, khususnya puisi, karena merupakan sekumpulan sistem tanda yang
menyimpan makna, akan memiliki kemampuan tersembunyi (subversif) untuk
mempengaruhi perasaan dan pikiran pembacanya. Puisi yang melukiskan keindahan
alam, misalnya, secara tidak langsung akan mengajak pembacanya untuk menghayati
kebesaran Sang Pencipta.
Begitu juga puisi-puisi yang
bersemangat melawan penindasan, dengan efektif akan mempengaruhi pikiran
pembaca untuk bersikap sama. Demikian juga sajak-sajak yang mengajarkan
kearifan hidup, akan mengajak pembacanya untuk memiliki kearifan yang sama.
Di dalam puisi-puisi yang unggul terkandung nilai-nilai positif, sejak nilai-nilai budaya,
sosial, moral, kemanusiaan, hingga agama. Puisi adalah sumber nilai kedua setelah agama. Kaum romantik bahkan
meyakini bahwa puisi mengandung pesan kebenaran yang
setara dengan kitab suci. Bahkan, ada yang menganganggap bahwa puisi, terutama
yang menggunakan ”aku lirik”, merupakan doa yang sangat makbul, karena dianggap
merupakan suara hati nurani sang penyair yang paling jujur. Setidaknya, filosof
Aristoteles menyejajarkan puisi dengan filsafat (konsep tentang kebijaksanaan
hidup). Serat Kalathida Ronggowarsito, misalnya, tidak sekadar merefleksikan
realitas diri (batin) pengarang dan masyarakatnya, tapi juga dapat menjadi
salah satu sumber inspirasi, pencerahan, sekaligus pengingat agar manusia tidak
gampang lupa daratan.
Perlu diapresiasi
Peran ataupun fungsi sastra bagi masyarakat tentu tidak
akan maksimal jika tidak diapresiasi secara luas, atau jika tingkat apresiasi
sastra masyarakat masih rendah. Maka, tingkat apresiasi sastra masyarakat sangat perlu ditingkatkan. Apresiasi -- berasal dari bahasa Inggris appreciation – adalah penghargaan yang
didasarkan pada pemahaman. Menurut Leksikon
Sastra Indonesia,[14] apresiasi sastra adalah kemampuan untuk
memahami dan menghargai nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra.
Dengan demikian, di dalam kegiatan apresiasi sastra diperlukan kemampuan untuk
menikmati, menilai, menghargai, dan mencintai karya sastra.
Apresiasi
sastra akan berjalan baik jika didasari oleh minat yang tinggi pada karya
sastra. Minat, menurut KBBI Daring[15],
adalah kecenderungan hati yang tinggi atau gairah terhadap sesuatu. Maka,
‘minat pada sastra’ dapat diartikan sebagai kecenderungan hati yang tinggi
(gairah) pada sastra, yakni seseorang yang memiliki keinginan kuat untuk
menggauli sastra, baik mencipta maupun sekadar menikmatinya sebagai rekreasi
batin sekaligus sumber
inspirasi bagi kehidupannya. Seseorang yang meminati sastra akan merasa hampa jika dalam
waktu tertentu tidak bersentuhan dengan sastra, dan karena itu ia akan selalu
rindu untuk membaca karya sastra.
Karena
bersifat kultural dan intelektual, maka peran pendidikan – pengajaran sastra di
sekolah – menjadi sangat penting. Seberapa tinggi tingkat apresiasi sastra
masyarakat tergantung pada seberapa efektif pelaksanaan pengajaran sastra di
sekolah. Sebab, sekolah tiap tahun menghasilkan kaum terpelajar yang langsung
berbaur dengan masyarakat dan mewarnai tingkat apresiasi sastra masyarakat. Tentu,
berbagai kegiatan apresiasi sastra, seperti diskusi dan pentas sastra, juga
sangat penting untuk ikut meningkatkan apresiasi sastra masyarakat.
Pamulang, Oktober 2014
[1] Dikutip
oleh Bakdi Sumanto dalam buku Sapardi
Djoko Damono: Karya dan Dunianya, Grasindo, Jakarta, 2005.
[2] Dikutip dari buku Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam
Kesusastraan, kumpulan esai, Sutan Takdir Alisjahbana, Balai Pustaka,
Jakarta, 1977.
[3] Dikutip dari buku Maklumat
Sastra Profetik, Kuntowijoyo, penerbit Grafindo Litera, Jakarta, 2010.
[4] Dikutip
dari buku Yang Muda Yang Membaca, Ahmadun
Yosi Herfanda, Kemenpora RI, 2009. Terjemah bebas oleh penulis.
[5] Lebih dari
500 puisi anti-korupsi karya lebih dari 100 penyair Indonesia terkumpul dalam
tiga antologi Puisi Menolak Korupsi
(PMK), yang dieditori oleh Sosiawan Leak dan diterbitkan oleh Forum Sastra
Surakarta, 2013.
[7] Dikutip dari “Sastra sebagai Wahana Pendidikan Nilai”, Ahmadun Yosi
Herfanda, naskah Orasi Sastra untuk Peringatan Hari Pendidikan Nasional,
Disparbud Kota Tangerang Selatan, 2013.
[8] Abrams, M.H., A Glossary of Literary Lamps, Holt Rinehart
and Winston, New York, 1981.
[9] Novel Max Havelaar karya Multatuli dipercayai menjadi sumber
inspirasi bagi munculnya gerakan politik etis di kalangan eksekutif
pemerintahan Hindia-Belanda. Dari gerakan ini muncul niat baik (political
will) untuk lebih mencerdaskan kaum pribumi, hingga banyak didirikan
lembaga-lembaga pendidikan dan penerbitan untuk pribumi seperti Balai Pustaka.
[10] Tagore adalah penyair India penerima Nobel Sastra tahun 1913.
[11] Cuplikan bait kelima dan keenam sajak Kerawang-Bekasi karya
Chairil Anwar.
[12] Saat
menjadi panglima angkatan darat Israel, Mosye Dayan pernah mengatakan bahwa
sebuah sajak patriotik Palestina lebih berbahaya dari pada satu resimen pasukan
komando Palestina.
[13] GL Morino adalah sastrawan Prancis yang pandangan-pandangannya
sangat pragmatis.
[14] Hasanuddin WS dkk., Leksikon
Sastra Indonesia, Titian Ilmu, Bandung ,
cetakan pertama, 2004, halaman 76.
0 Response to "MENEGASKAN KEMBALI PERAN SOSIAL SASTRA"
Post a Comment