PENDIDIK SASTRA INDONESIA
PENDIDIK;
Harapan Masyarakat
Sikun Pribadi
menyatakan bahwa profesi itu pada hakikatnya adalah suatu pernyataan atau suatu
janji terbuka, bahwa seseorang akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan
atau pekerjaan dalam arti biasa, karena orang tersebut merasa terpanggil untul
pekerjaan itu.
Suatu profesi erat
kaitannya dengan jabatan atau pekerjaan tertentu yang dengan sendirinya
menuntut keahlian, pengetahuan, dan keterampilan tertentu pula. Dalam
pengertian profesi telah tersirat adanya suatu keharusan kompetensi agar
potensi itu berfungsi dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini, pekerjaan
profesional berbeda dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya, oleh sebab mempunyai
fungsi sosial, yakni pengabdian kepada masyarakat. (Pendidikan Guru – Oemar
Hamalik, 2009: 3)
Pada perbincangan
selanjutnya akan diarahkan pada sebuah perbincangan profesi yang lebih menukik
pada satu ruang, yakni, guru. Pendidik atau guru merupakan sebuah profesi mulia nan ‘komplit’. Edi Suardi mengatakan
bahwa masyarakat (orang tua) menaruh harapan besar kepada pendidik,
1.
Guru diharapkan dapat membuat anak
(peserta didik) menjadi pandai, terampil, dan bersikap baik sebagaimana
diharapkan oleh masyarakat.
2.
Guru diharapkan membantu orang tua agar
anak dapat disiapkan untuk hidup di masyarakat tanpa bergantung kepada orang
lain.
Sepintas, harapan
masyarakat kepada pendidik yang dijabarkan oleh Edi Suardi pada poin dua (2)
mengarah kepada nilai yang kurang baik. Artinya ada penegasakan bahwa anak
haruslah menjadi individu yang mampu survive
di kehidupannya sendiri. Namun, kita ketahui bahwa manusia itu makhluk sosial yang niscaya memerlukan interaksi
sosial dengan sesama dan lainnya. Sebuah ungkapan “Lebih baik tangan di atas dari pada tangan di bawah” kiranya dapat
kita gunakan sebagai salah satu pola pandang untuk memadankan penjelasan Edi
Suardi pada poin nomor dua (2) tersebut.
Maka, kiranya tidak
berlebihan jika guru/ pendidik sebagai tenaga profesional memiliki dan
diharuskan menjalankan tanggung jawabnya sebagai pendidik bukan hanya pengajar
atau pemeriksa soal belaka.
Untuk terwujudnya apa
yang diharapkan masyarakat terhadap guru, maka sudah merupakan suatu kewajiban
bahwa guru haruslah cerdas, bukan hanya cerdas pikirannya saja melainkan guru
haruslah cerdas hatinya, cerdas emosionalnya, cerdas sosialnya, cerdas
budayanya, dan cerdas ketauhidannya. Penguasaan serta pemahaman yang utuh
tentang kesemuanya itu diharapkan kelak akan ditransformasikan kepada peserta
didiknya, sehingga wujud output dari
sebuah pendidikan bukan hanya dapat dirasakan oleh peserta didik itu sendiri
melainkan dapat dilihat dan dirasakan oleh kedua orang tuanya.
Seorang guru haruslah
sadar dan tahu betul bahwa posisinya merupakan posisi yang penting bagi
terciptanya penerus bangsa. Hanya dengan pendidikan yang benarlah sebuah bangsa
akan menjadi besar. Keluesan seorang guru merupakan harga mati bagi dunia
pendidikan Indonesia. Karena jika tidak, lihat dan tunggulah, negara ini akan
hancur digagahi negara lainnya.
Pendidikan yang benar
setidaknya dapat diukur dari seberapa berhasilkah ia (pendidik) membantu
peserta didiknya menguasi unsur konitif, afektif, dan psikomotor yang ada pada
dirinya (peserta didik).
Tentang keberhasilannya
dapat pula diukur dari seberapa mampukah ia (peserta didik) menempatkan dirinya
dalam berbagai situasi dan kondisi di dalam kelas (sekolah) dan di luar kelas;
di rumah, lingkungan masyarakat, dan sekitarnya.
PENDIDIK
SASTRA INDONESIA
Atas dasar
periodisasi sejarah sastra Indonesia yang dikemukakan oleh Ajip Rosidi (1968)
dalam bukunya yang berjudul Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia terdapat dua
pembabakan waktu sejarah sastra Indonesia, yakni:
1.
Masa Kelahiran atau Masa Penjadian
(kurang lebih 1900 – 1945) yang dapat dibagi lagi menjadi beberapa periode,
yaitu:
1. Periode
awal hingga 1933,
2. Periode
1933 – 1942,
3. Perode
1942 – 1945.
2.
Masa Perkeembangan (1945 hingga
sekarang) yang lebih lanjut daat pula dibag menjadi beberapa periode sebagai
berikut:
1. Periode
1945 – 1953,
2. Periode
1953 – 1961,
3. Periode
1961 – sampai sekarang.
Merujuk pada apa yang
dikemukakan oleh Ajip Rosidi tersebut maka dapat dikatakan bahwa sastra
Indonesia telah ada sejak sebelum kemerdekaan Indonesia tiba. Hal ini merupakan
sebuah pekerjaan rumah yang besar bagi para pendidik sastra Indonesia.
Pembahasan yang luas memerlukan perlakuan yang serius.
Membaca sastra bukan
melulu membaca tentang keindahan dan segala macam buaiannya estetik retorik
bahasanya saja. Membaca sastra berarti kita membaca kehidupan. Bahwa apa yang
terdapat di dalam tubuh sastra merupakan perangkat yang komplek mungkin bukan
lagi sebuah rahasia. Ada sejarah di dalam sastra, ada bahasa, dialog budaya,
ekonomi, sosial, filsafat, agama, bahkan sampai tuhan pun ada di dalam tubuh
sastra.
Pertanyaan berikutnya
adalah sudahkah kita (calon pendidik) membaca sastra yang jumlahnya tak sedikit
itu? Sudahkah kita memahami dengan utuh apa-apa yang terdapat dalam tubuh karya
sastra yang banyak itu? Jika belum, maka apakah kita siap menyandang julukan
sebagai tenanga profesional (pendidik/ guru)?
Memahami sebuah karya
sastra diperlukan seorang pemaham yang baik. Kriteria baik sendiri dapat diukur
dari seberapa banyakkah ia menggauli dan berkontempalsi dengan karya sastra
yang telah ada. Artinya, pendidik di sini merupakan sebuah nama lain dari
seorang pengamat/ kritikus sastra. Dapatkah kita (pendidik) mengamati sastra
jika tidak akrab dengan sastra? Dapatkah kita tahu tekstur terumbu karang jika
kita hanya mengapung di permukaan?
Tidak sedikit orang
(calon pendidik sastra Indonesia) yang beranggapan bahwa memahami sastra tidak
perlu dalam-dalam, cukup sebatas tahu sewajarnya saja. Hal inilah mungkin
terdengar wajar karena jika kembali kepada ruang sastra yang ada dalam dunia
pendidikan memang terbilang sedikit sekali.
Calon pendidik sastra
Indonesia akan terlihat seolah serius dan cinta kepada sastra hanya ketika
proses dirinya sendiri yang sedang mengikuti pendidikan. Namun usai itu
entahlah, kecintaannya terhadap sastra haruslah dipertanyakan ulang.
Jika Ahmadun Yosi
Herfanda (AYH) dalam sebuah catatan yang berjudul “Menegaskan Kembali Peran
Sosial Sastra” menyatakan “Karena bersifat kultural dan intelektual,
maka peran pendidikan – pengajaran sastra di sekolah – menjadi sangat penting.”, maka pertanyaannya apakah dewasa ini
kita sudah memiliki (calon pendidik sastra Indonesia) yang berkompeten?
Sungguh, ini bukanlah sebuah pesimistis – hanya sekedar bertanya.
Sebuah
kejujuran tidaklah dapat dilihat oleh kasat mata dan tentu implikasinya adalah
bahwa kejujuran tidak dapat diukur dengan mudah dan sekali tebak. Hal ini
bertalian dengan apa yang selanjutnya AYH dalam catatan yang sama, ia
menyatakan “bahwa berbagai kegiatan apresiasi sastra,
seperti diskusi dan pentas sastra, juga sangat penting untuk ikut meningkatkan
apresiasi sastra masyarakat.” Pertanyaan atas pernyataan beliau ini yang
dibenturkan terhadap situasi dewasa ini ialah apa tolak ukur keberhasilan
sebuah kegiatan yang berbau sastra dan hubungannya tentang meningkatnya
apresiasi sastra masyarakat? Jangan-jangan setiap ketiagan yang bertalian
dengan sastra belakangan ini, khususnya di Kota Kuningan hanya dijadikan
sebagai sebuah pemehunan program kerja/ agenda saja?
Apresiator sastra telah jauh dari khitohnya. Sederhana
kiranya, barang kali ujian sederhana tentang sastra; entah itu apa, bisa
dijadikan tolak ukur masyarakat (calon pendidik sastra) yang telah mengikuti
kegiatan sastra beberapa kali. Haruslah ujian sederhana ini; entah itu apa, akan
dengan mudah dilewati oleh calon pendidik sastra Indonesia. Buktikan saja.
Interpensi untuk sekedar membaca karya sastra sudah cukup
bersar di Kuningan ini. Tapi itu tidak cukup dan teramat sangat disayangkan karena
memang kultur yang malas atau karena apa, penerima petuah ya suka atau tidak pada
kenyataannya hanya membaca karya sastra saja tanpa didampingi/ diperintahkan
untuk membaca wacana teoritis (ilmiah) tentang sastra. Hal ini mengakibatkan
‘tubuh’ calon pendidik sastra Indonesia ‘picang’.
Memang, calon pendidik sastra Indonesia harusnya mampu
tergerak hati dan pikirannya ketika membaca karya sastra saja belum cukup untuk
memahaminya secara utuh, maka mau tidak mau dia mesti membaca pula referensi
yang lain. Tapi, entah apa yang salah, realitas berbanding terbalik dari
seharusnya.
Membaca puluhan novel dan antologi puisi atau memainkan
peran beratus kali di atas panggung saja tidak akan cukup untuk dijadikan modal
sebagai pendidik sastra Indonesia. Bahwa di dalam prosesnya terdapat
pendidikan/ pengalaman tentang pengetahuan iya saya pun sepakat. Hanya, apakah
pengalaman kolektif itu saja cukup? Tidak malukan jika sudah dewasa masih
dimandikan oleh kedua orang tua; kecuali jika ‘sakit’?
Menjadi seorang yang tangguh dalam dunia pendidikan
sastra merupakan sebuah kewajiban. Ketangguhan hanya akan diperoleh jika
mempunyai keberanian untuk mengacungkan pedang sendiri dihadapan retina ribuan
musuh di depan, maju, kemudian bertempur sampai titik darah penghabisan.
Sejarah bukan hanya ada bagi orang yang menang, tapi sejarah pun ada bagi orang
yang berani berperang.
Tidak ada karya sastra yang lepas dari kehidupan sosial.
Semua karya sastra pastilah menceritakan kehidupan sosial. Terlepas dari peran
sastra sebagai pengamat sosial atau pengamat yang lainnya-lah, sastra haruslah
dikenalkan terlebih dahulu sebagai pilihan yang pantas dicintai secara jujur
dan utuh. Akan kurang tepat pula jika kita menganggap bahwa sastra merupakan
jalan yang agung dalam menyingkap sesuatu. Tidakkah kita melampaui kuasa Tuhan/
memandang sebelah mata diskursus lainnya? Pada akhirnya, saya hanya ingin
menyampaikan, berproseslah pendidik sastra Indonesia dengan serius dan utuh
hingga akhirnya nanti menjadi seorang pendidik yang benar-benar diharapkan
masyarakat Indonesia.
0 Response to "PENDIDIK SASTRA INDONESIA"
Post a Comment