CATATAN KECIL

DEKADENSI MORAL BAHASA
oleh Zaka Vikryan

Alif Danya Munsyi alias Remy Sylado dalam buku "Bahasa Menunjukkan Bangsa" menulis: berbicara mengenai kebudayaan nasional, yang paling gampang dan paling sederhana, tetapi juga sekaligus paling istimewa, nyata maujud, konkrit, serta eksis dalam praksis di antero wilayah Sabang-Merauke, tidak lain tidak bukan adalah bahasa Indonesia. Pernyataan Bapak Alif ini kiranya berbanding terbalik jika kita sandingan dengan realitas kehidupan masyarakat Indonesia sekarang; yang menganggap remeh bahasa Indonesia.

Bagi sebagian kalangan persoalan bahasa mungkin tidaklah begitu penting. Anggapan semacam itu terjadi karena hal tersebut dipandang tidaklah memiliki peranan yang begitu besar terhadap kehidupan mereka. Artinya, jika seseorang tidak mempunyai kecakapan berbahasa yang baik dan benar maka hidup mereka akan tetap berlanjut seperti biasanya; menikmati kemunculan matahari sejak subuh memudar dan menyaksikan gelapnya langit malam dengan atau tanpa jentik-jentik bintang seusai senja.

Keberadaan bulan Oktober di Indonesia pastilah selalu dikaitakan dengan "bulan bahasa" mungkin juga "bulan nusantara" karena pada bulan Oktober inilah terjadi peristiwa besar; Sumpah Pemuda. Sumpahnya para pemuda nusantara yang menginginkan perubahan dan persatuan. Di Indonesia, pada bulan ini akan terjadi hujan kegiatan di semua daerah yang bertemakan "perjuangan atau persatuan atau kebahasaan, mungkin juga pendidikan." Akan terjadi latah masal diberbagai penjuru Indonesia. Tidak berhenti sampai di situ, kegiatan-kegiatan mengenai kebudayaan pun akan menggeliat untuk menunjukkan eksistensinya. 

Sebuah peringatan rasanya tidaklah dosa jika digelar, namun jika titik berangkatnya ialah sebuah kekosong maka akan dipandang percuma. Artinya, apa pun yang berangkat dari latar belakang yang tidak jelas meski ia adalah kue pernikahan rasanya tidak lebih dari sekedar serabi di pinggir jalan; mengenyangkan namun harganya recehan, nyaris mendekati harga sewa toilet umum belaka.

Padahal, kiranya akan lebih bijak dan lengkap jika kue pernikahan itu diposisikan sebagai kue pernikahan. Untuk mewujudkan hal itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Kita sebagai masyarakat Indonesia yang ngakunya berbudaya sudah tentu berkewajiban untuk berbahasa yang baik dan benar agar kita layak dikatakan masyarakat yang berbudaya. Kalau persoalan bahasa ditak-acuhkan maka kita belumlah layak dan pantas dikatakan sebagai masyarakat timur yang berbudaya. Kalau persoalan bahasa ini masih dipandang remeh bukan tidak mungkin harga diri kita (masyarakat Indonesia) tidak lebih dari sekedar recehan semata. Itulah bahasanya! Itulah dekadensi moral bahasa!

5 Oktober 2015

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "CATATAN KECIL"

Post a Comment