KATA...

“Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas. “ (Kredo Puisi, Sutardji Calzoum Bachire – O Amuk Kapak, 4: 2002).

Manusia yang mendapat julukan Presiden Penyair itu menyatakan pula dalam kredo puisinya bahwa kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban ide. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri. Dalam puisi saya; ungkapnya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.

Ungkapan selanjutnya dari pria kelahiran Rengat-Riau pada 24 Juni 1941 ini ialah bahwa bila kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauannya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungisnya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnnya, yang kreatif.

Bagi pemilik Shang_____Hai ini, menulis puisi adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi baginya adalah mengembalikan kata kepada mantera.

Menurut KBBI, kata adalah elemen terkecil dalam sebuah bahasa yang diucapkan atau dituliskan dan merupakan realisasi kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa. Penjelasan tentang bahasa menurut Kridalaksana adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri.

Tidak ada suatu situasi kontradiktif kiranya diantara pendapat Sutardji Calzoum Bachrie dan Kridalaksana ini, karena apa yang dikemukakan oleh Sutardji mengenai kata adalah kata yang terdapat dalam hal menulis puisinya – Kridalaksana mengemukakan pendapatnya tentang kata yang merupakan bagian kedua terkecil setelah huruf pada ‘posisinya yang normal’.

Jangan dulu berkecil hati kiranya membaca ungkapan saya tentang ‘posisi yang normal’ dan saya pun tidak bermaksud pula bahwa kata dalam puisi adalah ‘posisi yang tidak normal’. Menurut saya pribadi, baik kata yang terdapat dalam puisi atau pun kata yang digunakan; lisan atau pun tulis, mempunyai peranan yang sama. Peranannya tidaklah lain untuk berkomunikasi – saling menyampaikan pesan. Munafik juga kiranya bila SCB menulis puisi tanpa bertujuan menyampaikan pesan. Bukankah ia menulis karena ia ingin ada yang membacanya dan setelah itu ia berharap manusia yang membaca atau mendengarkan puisinya yang dibacakan akan memetik pelajaran atau mengambil nilai inspiratif dari puisinya. Bukankah itu komunikasi?

Pada dasarnya setiap manusia bebas menafsirkan apa pun yang ia dengar, lihat, dan rasakan: termasuk tafsirnya tentang “kata” yang terdapat hampir di setiap gerak dan tarikan nafasnya. Namun kebebasan menafsirkan itu pula harus disertai dengan dasar yang kuat dan pengetahuan yang utuh, sebab bila tidak manusia yang menafsirnya akan nampak bodoh dan menjadi bahan olok-olok. Ingat pula dengan pepatah, di mana bumi di pijak – di situ langit dijunjung.

Sederhananya seperti ini; ini contoh kasus bahasa dalan situasi ujar. Apabila seseorang (asal Jawa Barat) mengujarkan kata “letakan” itu akan menjadi “leutakan”, maka sesama orang Jawa Barat akan paham, bahwa yang dimaksud itu ialah menyimpan sesuatu (benda) pada tempat yang diucapkan. Sementara apabila orang Batak mengujarkan kata “letakan” akan menjadi “letakan”, dan tentu hal ini akan terasa mengganggu apabila diujarkan kepada orang Sunda. Karena “letakan” dalam arti orang Sunda berarti jilat-menjilat-jilati (sebuah proses menyentuh sesuatu dengan menggunakan lidah sebagai alat kerjanya). Mungkin di sinilah yang saya maksud dengan “Di mana bumi di pijak, di situ langit dijunjung.”

Ada pun ketidak-tahuan masing-masing diantara mereka (orang yang saya maksud dalam contoh kasus bahasa di atas) bukan semata karena dialek dan idioleknya yang berbeda, melainkan ketidak-tahuan mereka timbul karena menyempelekan bahasa itu sendiri. Bukankah masih banyak pula diantara kita yang menyepelekan bahasa, misalnya masih banyak anggapan atau pemahaman: untuk apa mempelajari bahasa, bahasa Indonesia dan Sunda khususnya, bukannya setiap hari juga digunakan? Nah, hal-hal semacam itu merupakan asal-muasal timbulnya predikat “buta bahasa” pada pelakunya.

Seyogyanya, dalam menanggapi atau menyikapi suatu ilmu haruslah lapang dan mau mempelajarinya, karena tidak akan ada ilmu yang tidak ada gunanya. Misalnya saja, ilmu copet, mestinya ilmu copet dipelajari oleh setiap orang – siapa tahu setelah mempelajari ilmu copet maka kita tidak akan menjadi korban copet.

Cigugur-Kuningan, 18 September 2014

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KATA..."

Post a Comment