CERMIN (CERITA MINI): MALAM LEBARAN, BULAN DI ATAS KUBURAN
Senja mulai menuaikan badannya diantara hembus angin tenang dan gemericik hujan kecil. Letupan-letupan petasan memuaikan percik warna yang beragam di langit kejauhan. Kumandang takbir menggema melantun dari tiap langgar, Desa Cimundut Kelurahan Pati. Hujan tak membuat riuhnya anak-anak kecil berlarian di tiap gang dan jalan raya hilang dalam sekejap -- bahkan tidak sedikit pun mereka indahkan. Terangnya lampu-lampu di setiap rumah menambah kesan hangat dalam upaya nuansan menyambut hari fitri 1 Syawal 1435 H.
Sementara aku masih berdiam di pematang sawah yang lengkap dengan keheningan dan lengangnya kehidupan, sampai-sampai suara katak pun tidak terdengar barang sejenak. Hanya batang-batang padi yang baru saja hijau meliuk-liuk di depan mata. Tidak ada kerbau yang lagi membajak, tidak ada kawan sejawat yang lagi meruat. Sendiri, benar-benar sendiri, hening, sunyi.
"Aa.. Mari pulang.. Hari sudah mulai malam.."
Lamunanku seketika buyar oleh ucapan kecil itu. Aku tengok ke samping kiri, tidak ada orang, begitu pun di sebelah kanan. "Siapa?", aku bertanya. Tidak ada jawaban barang secuil pun. Sungguh, posisiku tak berubah sedikit pun. Kembali aku beradu pandang dengan awan malam. Dalam hati aku bertanya, "Suara siapa gerangan?" aku harap awan memberiku jawan, tapi tidak. Aku bertanya pada percik warna petasan, tetap sama, tidak menjawab. Pada gemericik hujan dan takbir yang tengah berkumandang pun aku tidak mendapatkan jawaban. "Rasanya aku akan pulang saja, tubuhku letih, aku butuh beristirahat barang sejenak."
MENUJU RUMAH. "Ah, sebentar, layakkah ini kusebut rumah?", pikirku dalam hati. Atap yang terbuat dari jerami, dinding-dinding dari anyaman bambu, meja dari akar beringin. Kursi hanya tanah beralaskan tikar. Piring hanya lembaran daun pisan yang kusayat kemarin petang. Gelas sekedar batok kelapa yang kubelah bulan-bulan silam. "Layakkah ini kusebut rumah?" Aku tersenyum kecil; sungguh senyum ini senyum kecut entah yang keberapa kalinya dalam hidupku.
Setelah meneguk air hangat tawar yang kubakar di atas perapian dengan suluh beberapa helai, aku mencoba membaringkan tubuh di atas tikar. Kupertemukan dua kutub bulu mata, kukatupkan kedua kelopak mata yang sedari tadi berkedip entah berapa kali.
"Ah, suara petasan-petasan dari rumah gedongan itu sungguh mengganggu.", ketusku pada suasana malam lebaran. Bangkit dari tikar aku pergi kepancuran, barangkali setelah tubuh segar diguyur air aku bisa tertidur lelap.
MENUJU PANCURAN. Setelah 15 menit aku berjalan, sampailah di pancuran. Ini tempat umum, siapa pun boleh menggunakannya. Pada pagi dan sore hari, binatu-binatu gedongan itu biasanya membilas pakaian di sini. Namun sore hari biasanya lebih ramai karena anak-anak merah pun seringkali mandi disini.
Tidak langsung mandi, aku lebih dahulu duduk di pinggiran mata pancur. Pernah sekali, dulu, aku berpapasan dengan gadis belia; seorang binatu, Fitri namanya. Lahiran tahun 88. Namun hanya sekali saja, karena belakangan aku tahu bahwa ia diberhentikan oleh tuannya karena dituding mencuri perhiasan sang mpunya rumah. Entah benar atau tidak tudingan itu, yang jelas sekarang Fitri tidak lagi tinggal di salah satu rumah gedongan di desa ini; Desa Cimundut.
"Andai saja aku kini beristri, mungkin malam lebaran tidak akan sesepi ini. Paling tidak meski bertempat tinggal di gubuk yang kusebut itu rumah ada teman bicara, teman berbagi keluh dan kesah."
Kuguyur badan dengan batok kelapa entah bikinan siapa. Rasanya air pancuran ini menyelinap di seluruh pori-pori kulitku. Kubilas pula pakaian yang tadi kukenakan tadi ketika di sawah dengan sabun yang tergeletak di atas batu di pinggir mata pancur; ini sabun umum, siapa pun boleh menggunakannya.
MENUJU RUMAH. Kusempatkan solat isa, karena memang sedari tadi aku belum menunaikannya. Magrib di sawah, isa di rumah. Sebelum aku memejamkan mata di atas tikar kusempatkan pula bertakbir entah berapa kali...
"Allahu akbar.. Allahu akbar.. Allahu akbar.. Laa ilaha illallahu Allahu akbar.. Allahu akbar.. Walillailhamd.." Air mata menetes membasahi kedua pipiku. Mendengar langgar-langgar bertakbir hatiku bergidik, bulu kudukku merinding, entah dari mana datangnya perasaan haru-biru ini. Tangisku bukan karena aku sendiri saat ini, bukan karena hidup tidak bersanding harta berlimpah, bukan karena memiliki rumah yang tidak layak disebut rumah, bukan karena perasaan takut mendengar ajakan pulang tadi di sawah.
Aku hanya merasa bahwa lebaran tahun depan aku tidak akan kembali menjenguk pancuran. Kupertemukan dua kutub bulu mata, kukatupkan kedua kelopak mata yang sedari tadi berkedip entah berapa kali. "Allahu akbar..Allahu akbar.. Allahu akbar.. Laa ilaha illallahu Allahu akbar.. Allahu akbar.. Walillailhamd.."
***
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh.. Innalillahi wa innaillaihi rojiun.. Parantos mulih ka jati mulang ka asal Saudara Darma Tingasih warga RT 09 RW 09 Desa Cimundut Kelurahan Pati. Sakali deui, Innalillahi wa innaillaihi rojiun.. Parantos mulih ka jati mulang ka asal Saudara Darma Tingasih warga RT 09 RW 09 Desa Cimundut Kelurahan Pati. Wasalamualaikum warahmatullah.. Wabarokatuh.."
Cigugur, 1 Syawal 1435 H
Penulis; Vikryan Al Sudja.
Sementara aku masih berdiam di pematang sawah yang lengkap dengan keheningan dan lengangnya kehidupan, sampai-sampai suara katak pun tidak terdengar barang sejenak. Hanya batang-batang padi yang baru saja hijau meliuk-liuk di depan mata. Tidak ada kerbau yang lagi membajak, tidak ada kawan sejawat yang lagi meruat. Sendiri, benar-benar sendiri, hening, sunyi.
"Aa.. Mari pulang.. Hari sudah mulai malam.."
Lamunanku seketika buyar oleh ucapan kecil itu. Aku tengok ke samping kiri, tidak ada orang, begitu pun di sebelah kanan. "Siapa?", aku bertanya. Tidak ada jawaban barang secuil pun. Sungguh, posisiku tak berubah sedikit pun. Kembali aku beradu pandang dengan awan malam. Dalam hati aku bertanya, "Suara siapa gerangan?" aku harap awan memberiku jawan, tapi tidak. Aku bertanya pada percik warna petasan, tetap sama, tidak menjawab. Pada gemericik hujan dan takbir yang tengah berkumandang pun aku tidak mendapatkan jawaban. "Rasanya aku akan pulang saja, tubuhku letih, aku butuh beristirahat barang sejenak."
MENUJU RUMAH. "Ah, sebentar, layakkah ini kusebut rumah?", pikirku dalam hati. Atap yang terbuat dari jerami, dinding-dinding dari anyaman bambu, meja dari akar beringin. Kursi hanya tanah beralaskan tikar. Piring hanya lembaran daun pisan yang kusayat kemarin petang. Gelas sekedar batok kelapa yang kubelah bulan-bulan silam. "Layakkah ini kusebut rumah?" Aku tersenyum kecil; sungguh senyum ini senyum kecut entah yang keberapa kalinya dalam hidupku.
Setelah meneguk air hangat tawar yang kubakar di atas perapian dengan suluh beberapa helai, aku mencoba membaringkan tubuh di atas tikar. Kupertemukan dua kutub bulu mata, kukatupkan kedua kelopak mata yang sedari tadi berkedip entah berapa kali.
"Ah, suara petasan-petasan dari rumah gedongan itu sungguh mengganggu.", ketusku pada suasana malam lebaran. Bangkit dari tikar aku pergi kepancuran, barangkali setelah tubuh segar diguyur air aku bisa tertidur lelap.
MENUJU PANCURAN. Setelah 15 menit aku berjalan, sampailah di pancuran. Ini tempat umum, siapa pun boleh menggunakannya. Pada pagi dan sore hari, binatu-binatu gedongan itu biasanya membilas pakaian di sini. Namun sore hari biasanya lebih ramai karena anak-anak merah pun seringkali mandi disini.
Tidak langsung mandi, aku lebih dahulu duduk di pinggiran mata pancur. Pernah sekali, dulu, aku berpapasan dengan gadis belia; seorang binatu, Fitri namanya. Lahiran tahun 88. Namun hanya sekali saja, karena belakangan aku tahu bahwa ia diberhentikan oleh tuannya karena dituding mencuri perhiasan sang mpunya rumah. Entah benar atau tidak tudingan itu, yang jelas sekarang Fitri tidak lagi tinggal di salah satu rumah gedongan di desa ini; Desa Cimundut.
"Andai saja aku kini beristri, mungkin malam lebaran tidak akan sesepi ini. Paling tidak meski bertempat tinggal di gubuk yang kusebut itu rumah ada teman bicara, teman berbagi keluh dan kesah."
Kuguyur badan dengan batok kelapa entah bikinan siapa. Rasanya air pancuran ini menyelinap di seluruh pori-pori kulitku. Kubilas pula pakaian yang tadi kukenakan tadi ketika di sawah dengan sabun yang tergeletak di atas batu di pinggir mata pancur; ini sabun umum, siapa pun boleh menggunakannya.
MENUJU RUMAH. Kusempatkan solat isa, karena memang sedari tadi aku belum menunaikannya. Magrib di sawah, isa di rumah. Sebelum aku memejamkan mata di atas tikar kusempatkan pula bertakbir entah berapa kali...
"Allahu akbar.. Allahu akbar.. Allahu akbar.. Laa ilaha illallahu Allahu akbar.. Allahu akbar.. Walillailhamd.." Air mata menetes membasahi kedua pipiku. Mendengar langgar-langgar bertakbir hatiku bergidik, bulu kudukku merinding, entah dari mana datangnya perasaan haru-biru ini. Tangisku bukan karena aku sendiri saat ini, bukan karena hidup tidak bersanding harta berlimpah, bukan karena memiliki rumah yang tidak layak disebut rumah, bukan karena perasaan takut mendengar ajakan pulang tadi di sawah.
Aku hanya merasa bahwa lebaran tahun depan aku tidak akan kembali menjenguk pancuran. Kupertemukan dua kutub bulu mata, kukatupkan kedua kelopak mata yang sedari tadi berkedip entah berapa kali. "Allahu akbar..Allahu akbar.. Allahu akbar.. Laa ilaha illallahu Allahu akbar.. Allahu akbar.. Walillailhamd.."
***
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh.. Innalillahi wa innaillaihi rojiun.. Parantos mulih ka jati mulang ka asal Saudara Darma Tingasih warga RT 09 RW 09 Desa Cimundut Kelurahan Pati. Sakali deui, Innalillahi wa innaillaihi rojiun.. Parantos mulih ka jati mulang ka asal Saudara Darma Tingasih warga RT 09 RW 09 Desa Cimundut Kelurahan Pati. Wasalamualaikum warahmatullah.. Wabarokatuh.."
Cigugur, 1 Syawal 1435 H
Penulis; Vikryan Al Sudja.
0 Response to "CERMIN (CERITA MINI): MALAM LEBARAN, BULAN DI ATAS KUBURAN"
Post a Comment