RESENSI NOVEL BINTANG DI ATAS ALHAMBRA KARYA ANG ZEN

Mimpi harus diciptakan agar bisa diwujudkan menjadi sebuah kenyataan
Zaka Vikryan*





Judul               : Bintang di atas Alhambra
Penulis             : Ang Zen (Zezen Zaenal Mutaqin)
Penerbit           : Penerbit Buyan (PT Bentang Pustaka)
Cetakan           : I, November 2013
Tebal               : X + 385 halaman; 19 cm
ISBN               : 978-602-7888-86-9
Distribusi         : Mizan Media Utama
Jenis Buku       : Fiksi Indonesia

B
intang di atas Alhambra. Sebuah maha karya dari seorang mantan santri pondok pesantren salafiyah (tradisional) di Kota Kuningan, Darul Ulum Karangtawang tepatnya. Zezen Zaenal Mutaqin, atau yang lebih akrab disapa Ang Zen dalam kaitannya dengan dunia fiksi belakangan ini. Ya, itulah nama pemilik Bintang di atas Alhmabra. Cerita yang  memuat Kuningan Jawa Barat Indonesia sampai Eropa Barat sebagai latar tempatnya ini merupakan maha karya pertamanya.
            PESAN LELAKI TUA DI ALBAICIN. Judul kecil pertama dari Bintang di atas Alhambra ini menjadi titik mulai sebuah cerita yang akan memunculkan tanda tanya besar bagi para pembaca dalam kaitannya antara petuah misterius dari Paulo yang dititipkan kepada Lisa Gomez seorang perempuan dari Santiago, Cile, untuk Muhammad Syarip; dua sahabat yang tengah menjajakan kedua kakinya di Bukit Sacromonte, Granada.
            Muhammad Syarip, seorang anak berumur 13 tahun yang semula mantap benar bercita-cita menjadi seorang kiai akibat dorongan yang diberikan oleh kedua orang tuanya ternyata tersihir oleh ajimat yang diberikan oleh kakak kelas pondoknya; Kang Hafid. Ini sebuah ajimat yang berbeda. Tidak semua orang mampu menguasai ajimat ini, ajimat ini hanya untuk orang-orang yang yakin dengan sepenuh hati, berusaha sekuat mati, sampai akhirnya menemukan jati diri.
            Brunswick. Sebuah kota di utara Melbourne, Australia. Sebuah tempat yang menjadi saksi seorang Iip, santri pondok pesantren salafiyah, Karangtawang, Kuningan, yang menempuh pendidikan Master Hukum Internasional menjalani kehidupan rumah tangga yang kemudian genap dengan kehadiran Amartya Muhammad; seorang putera yang diharapkan kedua orangtuanya akan mendekati sosok Amartya Sen.
            Zezen Zaenal Mutaqin sebagai orang mengerti aturan (hukum) sungguh sangat terasa benar dalam karyanya ini. Terbukti ketika ia berhasil menceritakan kebijakan yang bergulir ketika Granada jatuh ke tangan Ratu Isabella dan Raja Ferdinand pada 6 Januari 1492, kemudian saat ia menceritakan Iip yang menempuh tirakat untuk menguasai elmu sambat, sampai akhirnya pada saat ia menceritakan kehidupan Iip yang menjadi seorang CAO di Victoria Market yang mengharuskan ia untuk mengecek lampu sepedanya karena jika lampu sepedanya mati maka akan terkena tilang sebanyak 50 dolar. Sungguh, Ang Zen ini orang yang mengerti hukum, saking mengertinya bahkan berimplikasi pada tokoh Iip yang mempunyai kehidupan ‘rapih’. Kiranya jika Fahd Djibran mengatakan abracadabra diwajah Bintang di atas Alhambra maka kurang tepat pula ia, karena sungguh masa depan yang dimenangkan Iip bukanlah sebuah magic, melainkan karena sebuah proses yang dijalani secara istiqomah.
            Menjalani peran sebagai orang tua bagi Amartya Muhammad, Iip dan “Mbun” (panggilan sayang Iip kepada isterinya) sungguh terasa sangat memilukan. Terlebih ketika bulan-bulan pertama saat ia telah menjadi orang tua bagi Amar, selain Iip yang berperan sebagai kepala rumah tangga yang artinya ia harus mencari nafkah, ia pula harus turun tangan langsung membeli kebutuhan sehari-hari, dan tentu disamping itu ia tidak dapat mengenyampingkan posisinya di Melbourne yang tengah menempuh pendidikan masternya atas beasiswa yang disabet dari Pemerintah Australia.
“Jangan kalian alergi buku, apalagi alergi ilmu atau alergi pemikiran. Semua harus dibaca dan dipelajari. Akang tidak setuju dengan pendapat bahwa kita tidak boleh membaca filsafat karena bisa menjerumuskan diri pada kekufuran. Pendapat bahwa membaca buku komunisme bisa membuat seseorang menjadi ateis. Jangan juga alergi membaca buku yang ditulis orang barat karena beranggapan mereka punya kepentingan menghancurkan Islam. Bacalah semua, pelajarilah. Rasulullah menyuruh kita mempelajari ilmu sampai ke Negeri China. Itu artinya, kita diwajibkan mempelajari ilmu apa saja dan mengambil manfaatnya. Namun ingat, hiasilah ilmu kalian, Anak-anakku, dengan budi suci.” [Kiai Cidewa; Bintang di Atas Alhambra, 106: 2013]
            Berita dari Cidewa. Innalilahi wa inna ilaihi rajiun. Tepat pukul 06.15 Iip menerima pesan yang membuat hatinya bergetar hebat. Kiai Hilmi, Kiai Pesantren Cidewa, Ciamis, telah wafat. Seorang yang berjasa cukup besar atas terbentuknya karakter Iip yang moderat. Ada sebuah semboyan dari Kiainya itu yang selalu hidup dihati Iip, “Jadilah muslim moderat, mukmin demokrat, muhsin diplomat, Anak-anakku.”
Sungguh suatu mukjizat jika dapat menemukan guru yang  mampu membantu membentuk karakter kita dengan baik. Micth Albom misalnya, ia dapat dikatakan beruntung karena ada sosok Morrie Schwartz di belakangnya yang tidak letih-letihnya memberi pendidikan padanya sampai akhir hayat.
Bagaimana dengan kalian? Sudahkan menemukan sosok guru yang tepat semenjak menjalani kehidupan ini? Saya meski seorang biasa yang hidup di kota kecil, Kota Kuningan, tempat kelahiran Ang Zen juga tentunya merasa beruntung dengan sosok Syafaat Mohamad. Mengapa? Karena beliau dapat dikatakan sebagai guru saya dalam berbagai hal, lebih khusus dalam memahami sesuatu yang sifatnya besar, agama dan tuhan misalnya. Beliau dapat dikatakan sebagai guru yang selalu memberi kebebasan kepada murid-muridnya dalam menentukan sikap atas apa pun yang dihadapinya, tentu harus pula disertai dengan tanggung jawab dan dasar yang kuat.
Menjadikan Bintang di atas Alhambra ini sebagai guru kita juga merupakan pilihan yang cerdas. Selain akan membantu kita mengingat dan menciptakan setiap mimpi yang kemudian hari harus dimenangkan, dengan membaca buku ini pula kita akan merasakan dan memetik hikmah bahwa menjadi manusia yang mempunyai mimpi itu bukanlah sebuah kesalahan.
Kehadiran Lisa Gomez, seorang kawan yang sama-sama sedang menempuh gelar masternya di Universitas Melbourne berkat beasiswa dari Pemerintah Cile menjadi bagian penting selanjutnya dalam tubuh Bintang di atas Alhambra, dengan Lisa-lah, Muhammad Syarip bertukar cerita tentang wafatnya Kiai Cidewa, Islam, dan segudang masalah yang tengah dialami negera asalnya; Indonesia.
Berkat sosok perempuan Santiago itu pulalah cerita yang nyaris teramat kental dengan sejarah yang dituturkan Ang Zen melalui Iip terlihat lebih renyah untuk dinikmati. Hal ini menjadi semacam pertanyaan besar bagi setiap pembacanya; “Sampai manakah dialog tentang sejarah dunia dan agama antara perempuan Santiago dan pemuda Indonesia yang tentu jelas-jelas berbeda keyakinan agamanya?
Kesahihan Zezen Zaenal Mutaqin sebagai orang yang mengerti hukum akan kembali pembaca rasakan ketika ia bertutur dalam fiksinya ini tentang Terra Nullius dan penjelasannya tentang pencapaian Pemerintah Persemakmuran Australia pada tahun 1904 yang mengeluarkan aturan untuk memulangkan  semua orang kulit hitam dari perkebunan-perkebunan di Queensland ke tempat asalnya masing-masing. Ini prestasi! Karena dengan berlakunya aturan tersebut maka perburuan orang-orang kulit hitam menurun secara drastis di Tanah Australia.
Bersepeda Cuci Mata. Ini merupakan salah satu judul kecil yang akan menarik perhatian penuh pembaca. Mengapa demikian? Karena pembaca lagi-lagi akan merasakan bahwa sejarah itu penting. Jangan berharap bahwa dalam judul kecil ini kita akan sejenak saja lepas dari paparan pengetahuan yang dituliskan Ang Zen. Dari mulai perbincangan tentang aurat, seks, budaya, sampai tuturannya melalui Iip tentang Colombus yang menemukan benua Amerika.
The key for happinessis when you thankful for the grace that God has given. Mungkin beginilah takdir bekerja. Tuhan akan memberi jalan kepada manusianya yang yakin dengan keinginannya. “Ya, Eropa!” Muhammad Syarip akan menginjakan kakinya di Eropa. Setelah “Mbun”  dan Amartya Muhammad berpamitan kepada Iip untuk berpulang ke Indonesia tidak lama kemudian Gomez memberitahukan kepada Iip bahwa ada kesempatan beasiswa musim panas di Eropa. Namun pembaca, kiranya jangan terlalu meremehkan skenario penulis yang cenderung cukup mengalir kaitannya dengan kehidupan Iip. Mengapa? Karena kesempatan itu hanya untuk orang-orang yang yakin dengan sepenuh hati, berusaha sekuat mati, sampai akhirnya menemukan jati diri, dan Iip termasuk manusia yang mampu bernegosiasi dengan Lauhul Mahfuz.
“Di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung.” Mungkin itu ungkapan yang cukup tepat dari pembaca nantinya untuk Iip saat ia sangat kesal sekali karena ulah konyolnya sendiri pada minggu-minggu pertama di Belanda. Fragmen ini akan membuat pembaca sakit perut karena tawa cukup panjang akan dialami pembaca dan pembaca pasti tidak akan percaya, bahwa orang secerdas dan seberuntung Iip masih saja ada ‘cacatnya’. Namun Ang Zen sukses karena itu, dengan munculnya fragmen ini, dapat saya katakan bahwa Bintang di atas Alhambra merupakan karya yang berhasil dalam hal penokohan. Ingat, bahwa manusia merupakan makhluk sempurna dengan ketidak-sempurnaannya.
Lagi, dan lagi. Karya ini mencatat sejarah muda Indonesia, dan tentu tidak lepas dari pengaruh kehidupan Ang Zen sebagai orang yang mengerti hukum. Masih ingatkah kita dengan peristiwa 17 Desember 2002? Saat itu Hakim Gilbert Guillaume asal Perancis membacakan putusan bahwa Sipadan dan Ligitan berada di bawah kedaulatan Malaysia. Atau tahukah kita dengan asal-muasal kota Den Haag yang dijuluki sebagai kota perdamaian? Ataunya lagi, tahukah kita cerita GPK (Gerakan Pembebasan Kongo)? Nah pembaca, Bintang di atas Alhambra memosisikan dirinya sebagai miniatur kamus sejarah yang bertanggung jawab kiranya dalam hal “... mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Wa al ‘ashri, merupakan salah satu prinsip menarik dari seorang mantan santri pesantren salafiyah ini; Muhammad Syarip. Sungguh, pembaca akan dibuat iri dan mau tidak mau pasti pembaca akan membuat ribuan mimpi yang kelak mesti dibela di atas bintangnya masing-masing setelah menikmati karya Ang Zen ini. Bagaimana tidak, tak henti-hentinya Tuhan berpihak kepadanya; remaja Karangtawang-Kuningan yang diberi kesempatan oleh-Nya melihat bintang layang-layang di Melbourne dan ‘menjajah’ negeri penjajah Indonesia; Belanda, dan kelak akan menikmati Alhambra dari bukti Sacromonte – sementara itu meski kiranya Iip belum sempat berkenalan dengan tongsis, hobinya berfoto akhirnya membuahkan hasil karena Iip diminta mengirimkan foto terbaiknya untuk dipampangkan besar-besar pada buku tahunan fakultas di Melbourne berkat keunikan dan kecerdasannya. Do you best at every oppotunity that you have.
Reuni orang Bojong di Freiburg – Jerman yang memakan waktu perjalanan selama lebih dari 7 jam akhirnya membuat Iip menagih janji Perempuan Cile ini; Lisa Gomez untuk menceritakan Santiago. Lisa memulai dengan kisah pribadinya yang akhirnya merasa menyesal karena telah menyia-nyiakan Jose; pria yang begitu mencintainya sampai akhirnya perbincangan yang bermuatan sejarah lagi-lagi tertuang dalam Bintang di atas Alhambra ini; Santiago de Compostela.
Petualangan panjang di Eropa akhirnya harus terhenti di Alhambra; sebuah istana yang mampu menghipnotis setiap pasang mata yang hendak menelanjangi keindahan arsitekturnya. Sungguh, ini merupakan sebuah perjalanan besar bagi seorang Iip. Keberuntungan menyapa mimpinya menjadi sebuah realita bukan hanya persoalan pelesir belaka, ada banyak kejutan-kejutan yang Tuhan berikan dalam perjalanan panjangnya; Lisa Gomez misalnya, sosok sahabat yang terbilang cerdas yang mampu menjadi lawan tukar cerita mantan santri pondok pesantren salafiyah Karangtawang-Kuningan ini. Lebih dari itu, keberuntungan Iip yang paling besar ditandai oleh hadirnya sosok “Mbun” yang dengan utuh mencintainya lebih dari pada dirinya sendiri. Ada Amartya Muhammad  di sisi lain, Amar menjadi sosok pelengkap kehidupan seorang Iip, karena Amar-lah Iip dapat dikatakan sebagai seorang lelaki sejati.
Sesampainya di Indonesia, Karangtawang-Kuningan tepatnya, Iip kembali teringat akan secarik pesan yang disuratkan Paulo yang disampaikan kepada Nona Santiago, Lisa Gomez untuk Iip. Sungguh sayang teruntuk Ang Zen, karena telah membuat flat sosok Iip ketika membuka amplop merah jingga bertulisan tinta biru tanpa tercengan. Mengapa hal ini disayangkan, karena pada awal-awal cerita dikatakan bahwa setelah Iip menerima amplop itu ia merasa heran dan penasaran. Tapi pembaca akan menemukan hal yang begitu jauh berbeda pada sosok Iip yang hanya biasa saja menanggapi pesan dalam amplop itu yang ternyata pesan itu ditulis sendiri oleh Lisa Gomez.
Awalan cerita yang dimulai dengan amplop misterius yang diterima Iip itu sejenak mengingatkan saya pada sosok Shopie, gadis kecil berumur 14 tahun dan dunianya karangan Jostein Garder.
Dari segi penuturannya, gaya bahasa Ang Zen cenderung lugas dan tegas, nyaris mendekati gaya tutur Pramoedya Ananta Toer; novelis legendaris yang sempat merasakan dinding jeruji Pulau Buru kala zaman Bapak Pembangunan waktu dulu. Hal ini amat sangat kontradiktif sekali dengan karya-karya Ahmad Tohari; Presiden Dukuh Paruk, yang amat kaya dengan metafor alamnya. Namun bukan berarti Bintang di atas Alhambra ini gersang metafor, hanya saja kuantitasnya sedikit sekali jika dibandingkan dengan Bekisar Merah atau Ronggeng Dukuh Paruk milik Ahmad Tohari. Namun, hal itu bebas saja, karena pada dasarnya masing-masing penulis bebas menentukan gaya tuturnya mereka masing-masing.
Bintang di atas Alhambra ini patut dijadikan rujukan bagi siapa saja yang ingin menciptakan dan memiliki mimpi; apa pun itu mimpinya. Banyak nilai-nilai inspiratif yang disampaikan Ang Zen melalui tokoh-tokoh yang ada dalam tubuh Bintang di atas Alhambra ini baik dari sikap, sifat, dan pemikirannya.
Dari segi alur, Bintang di atas Alhambra ini beralurkan sorot-balik (flashback). Pembaca akan bertemu Alhambra di awal cerita dan menemukan kembali Alhambra di akhir cerita setelah diajak pelesir ria oleh Ang Zen menyusuri Kuningan-Cidewa-Pasar Victoria dan Kanal-kanal di Belanda.
Namun nampaknya Titish A.K. dan Kembang Kasih selaku pemeriksa aksara kurang begitu sukses, terbukti dengan terdapatnya kata “di adang” pada halaman 43, dan terdapatnya kata “mengadang” pada halaman 44. Dari segi bahasa, ke-dua kata itu sudah terbilang komunikatif, namun jika dilihat dari segi morfologiknya maka ada kekurang-tepatan proses pembubuhan afiks di sana dan konjungsi “di” penulisannya tidak dipisahkan (tanpa spasi) dengan kata verba (kerja). Seharusnya “di adang” itu menjadi “dihadang”, dan “mengadang” itu menjadi “menghadang”. Itu pun tentu dengan melihat konteks kalimatnya. Atau boleh jadi bukan “dihadang” akan tetapi “digadang” dan bukan pula “mengadang” akan tetapi “menggadang”.
Terlepas dari keteledoran teknis itu, Bintang di atas Alhambra ini merupakan maha karya dari seorang pemuda Karangtawang Kuningan yang mampu mendunia. Hal ini menepis anggapan bahwa sastra hanya untuk orang yang mempelajari sastra saja. Spekulasi semacam itu tidak berlaku bagi orang-orang yang yakin dan mau berusaha, meski ia bukanlah berlatar-belakang ‘anak sastra’.
Ada sebuah dalil dari Schleiermacher; seorang pendiri hermeneutika modern: Es gilt einen Verfasser besser zu verstehen, als er sich selber verstanden hat. Ungkapan ini menjadi semacam cemeti yang memecutku dalam hal kaiatannya menafsirkan Bintang di atas Alhambra, karena sudah tentu pisauku yang masih terbilang tumpul ini nampaknya belum pantas menyayat Bintang di atas Alhambra. Namun aku seolah mendapatkan dukungan dan restu dari Zaim Rofiqi (sastrawan Indonesia asal Jepara), ia mengatakan bahwa ketika seorang penulis menulis hendaknya sadar dan berusaha melihat karya-karyanya sebagai sebuah medium untuk memperjuangkan sesuatu, misalnya suatu pandangan dunia tertentu. Bagi saya, penulisan resensi ini diharapkan akan bermanfaat bagi setiap pembacanya dan kemudian tergugah untuk menelusuri Bintang di atas Alhambra milik Zezen Zaenal Mutaqin (Ang Zen) serta mampu memetik pelajaran hidup dari seorang pemuda Kuningan yang piawai membela mimpinya menjadi nyata.
Masa depan adalah setiap impian yang dimenangkan”, sudahkah kita memiliki mimpi? Bagaimana caranya memenangkan setiap mimpi? Satu ungkapan untuk menutup perbincangan panjang ini: If you born a proverty, it’s not your fault. But, if you die in a proverty, it’s being an absolute mistake you have made.

Cigugur, 14 September 2014










*Penikmat Seni

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "RESENSI NOVEL BINTANG DI ATAS ALHAMBRA KARYA ANG ZEN"

Post a Comment